Bagi saya, kopi adalah satu dari sekian banyak hal di negeri ini, yang mampu menampilkan kebhinekaan secara nyata, dalam ciri khas dan kepelbagaiannya.
Dari lokasi sentra produksinya saja, kebhinekaan sudah terlihat. Hampir setiap daerah di Indonesia, mulai dari Aceh sampai Papua, punya kopi khas daerah dengan cita rasa yang juga khas.
Ada yang masam seperti anggur, ada yang pekat seperti coklat murni tanpa gula. Ada yang beraroma seperti rempah-rempah, ada yang beraroma buah-buahan. Ada juga yang manis seperti gula aren atau karamel.
Varietasnya pun beragam. Ada Robusta yang biasa tumbuh di dataran rendah, ada Arabika yang tumbuh di dataran tinggi, dan ada juga Liberika, yang konon pahit seperti Robusta, tapi punya sedikit cita rasa masam seperti buah nangka atau kopi Arabika.
Soal penyajian, keberagaman juga menjadi ciri khas. Ada yang ditubruk saja seperti biasa, ada yang harus menggunakan teknik atau alat khusus, baik itu menggunakan mesin atau metode manual.
Keberagaman ini persis seperti yang belakangan biasa hadir di berbagai kelas warung kopi, mulai dari kemasan sachet angkringan atau sepeda keliling di jalanan, sampai metode brewing di outlet kelas mahal.
Dalam perjalanannya, kopi Indonesia, dengan segala keberagaman di sekitarnya, justru menjadi satu potret nyata kebhinekaan di negeri ini.
Dia ada di berbagai daerah, mengakomodasi berbagai metode penyajian, dan menjangkau seluruh lapisan masyarakat. Lintas agama, lintas profesi, lintas generasi.
Apapun seleranya, kopi bisa mewadahi keinginan peminumnya dengan baik, seperti sosok teman sejati. Tak peduli dia seorang romantis atau bukan, sedang susah atau senang.
Kadang, Robusta dioplos dengan Arabika (maupun sebaliknya), untuk menghasilkan paduan rasa yang unik, bahkan kadang dicampur dengan sirup seperti rum sekalipun.
Tapi, ia tetap jadi kopi dengan karakter sebagaimana adanya. Dia bukan pejabat yang hanya mendekat ke rakyat saat minta dipilih, tapi lupa diri setelah terpilih.
Walau keberagaman yang ada terlihat membingungkan, nyatanya kopi tidak pernah protes. Dia tetap mampu menyatu dengan semua keberagaman ini, tanpa kehilangan karakternya. Satu hal yang sangat Nusantara.
Hebatnya, meski punya karakter khas yang kuat, kopi tidak pernah menjadi ekstremis. Karena, semua keberagaman yang melekat padanya setara. Tak ada jenis kopi yang lebih baik atau buruk, kelas elit atau bukan.
Ini murni soal selera, dan setiap penikmat kopi pasti punya selera dan perspektif sendiri. Semuanya benar, tak ada yang salah.
Jadi, agak aneh kalau ternyata masih ada segelintir orang yang punya titik ekstrem soal selera, dan menciptakan filosofi rasa dikotomi dari sana.
Itu bukan salah kopinya, tapi salah orangnya, karena mereka terlalu mengedepankan ego, dan menganggap dirinya paling benar. Padahal, beda orang mungkin beda selera.
Jangan lupa, tidak semua peminum kopi bisa langsung menikmati rasa kopi murni tanpa gula yang paling keras di kesempatan pertama. Kadang, beda orang beda proses, karena beda kemampuan tubuh.
Ada yang memulainya dari kopi sachet tanpa ampas, sebelum pelan-pelan naik ke tingkat yang lebih "keras" bagi tubuh mereka.
Mirip seperti anak yang sedang bersekolah. Perlu menapaki beberapa tingkatan untuk bisa naik jenjang, dan bekerja di tempat yang layak. Kecuali, keluarga mereka memang sudah kaya tujuh turunan.
Ada yang nekat tapi langsung tumbang, karena asam lambungnya berontak keras. Apakah itu sepenuhnya salah sang kopi?
Tidak juga. Masalah ini datang, lebih karena ketidakmampuan si peminum mengukur batasan dirinya. Kopi hanya memberikan apa yang dia bisa berikan secara adil, apapun kondisi peminumnya, siapapun mereka.
Dari sinilah, ada satu ruang yang seharusnya bisa digunakan, untuk setiap orang mau mengenali batasan dirinya. Bukan karena lemah, tapi supaya mau sadar diri dan menghormati keberagaman, karena setiap perbedaan dalam keberagaman itu setara, dan jika mampu disatukan, bisa menjadi satu kekuatan besar, sebagai "Kopi Indonesia".
Buktinya, dalam kepelbagaian dan keberagamannya, kopi Indonesia telah mendunia. Indonesia bahkan menjadi salah satu produsen kopi terbesar dan terbaik di dunia, bersama Brasil, Vietnam, Kolombia, dan Etiopia.
Sesuatu yang seharusnya bisa ditiru, di tengah masih adanya radikalisme dan ekstremisme dalam negeri ini.