Mohon tunggu...
KOMENTAR
Financial Pilihan

Money Game, Sebuah Cerita

10 Februari 2022   07:52 Diperbarui: 10 Februari 2022   07:54 446 15
Bicara soal "money game", banyak orang yang punya cerita dengannya. Ada yang senang, ada juga yang sedih, dengan yang disebut terakhir biasa menjadi satu warna dominan.

Tapi, pengalaman saya soal "permainan" satu ini adalah cerita soal penolakan demi penolakan. Bukan ditolak, tapi menolak.

Oke, awalnya saya memang sudah mendengar selentingan soal ini semasa SMA di Yogyakarta, tapi karena harus fokus belajar, saya memilih untuk pura-pura bodoh.

Toh, waktu menunjukkan, rata-rata perjalanan mereka hanya berumur pendek, sekitar hitungan bulan.

Dalam perjalanannya, money game akhirnya benar-benar saya temui pada tahun pertama kuliah, tepatnya di awal tahun 2012. Waktu itu, ada ajakan dari seorang teman untuk ikut seminar bisnis gratis.

Kebetulan, waktu itu memang ada kewajiban untuk mengumpulkan poin dari acara seminar, sebagai satu syarat yudisium. Berhubung ini gratis, saya mencoba ikut.

Apes, acara yang disebut "seminar" itu ternyata hanya ajang rekrutmen sales produk obat-obatan "herbal", dengan sistem pemasaran berjenjang alias MLM.

Gelagatnya makin tak beres, karena bukan penjualan produk yang lebih ditekankan, tapi rekrutmen anggota baru, dengan skema berbentuk mirip Piramida. Satu ciri khas "money game".

Ciri khas lain yang muncul adalah, ada iming-iming jumlah pemasukan yang tidak biasa, kalau tidak boleh dibilang tidak wajar.

Yang paling fatal, aspek legalitas, termasuk perizinan masih sebatas "baru diurus" tanpa tahu kapan beresnya. Sebuah bahasa diplomatis dari "Kami tidak peduli", karena ternyata memang tidak pernah diurus.

Secara logika ekonomi, ini memang bisa berjalan dalam jangka pendek, khususnya bagi mereka yang mampu merekrut banyak orang dalam sekejap. Selama masih ada yang bisa direkrut, semua masih berjalan, tapi sekali macet, habislah sudah.

Masalah lainnya adalah, ada kecenderungan dari sebagian oknum pelaku "bisnis" ini, untuk meremehkan profesi orang lain, apapun itu.

Tentu saja, ini membuat saya semakin tidak yakin, karena situasinya tampak serba tidak biasa. Dengan situasi serba tidak biasa itu, saya memilih untuk tidak terlibat lebih jauh.

Kebetulan, waktu itu saya masih harus membagi waktu antara kuliah dan berorganisasi di kampus, ditambah lagi, kondisi keuangan serba pas-pasan.

Alasan kurang lebih sama, juga "menyelamatkan" saya selama kuliah, saat ada teman-teman lain yang mengajak.

Pertimbangannya simpel, saya harus fokus, karena di tahun pertama saya dulu, ada satu mata kuliah inti yang nilainya kebakaran, dan harus segera dibereskan.

Mereka yang mengajak saya ikut money game tidak akan bertanggung jawab kalau studi dan hidup saya sampai berantakan gara-gara ikut money game.

Entah kebetulan atau bukan, keterlibatan dalam hal-hal seperti ini sering menciptakan masalah di belakang hari, seperti bom waktu.

Sebagai contoh, teman yang di awal masa kuliah mengajak saya ikut MLM, pada prosesnya memilih fokus ber-MLM (sebelum akhirnya banting setir ke bidang lain), dan membiarkan studinya terbengkalai.

Ini baru satu orang di satu fakultas dalam satu kampus, belum termasuk dari fakultas dan universitas lain di seluruh Indonesia. Kalau jumlahnya digabung se-Indonesia, pasti akan banyak sekali, karena pada masa SMA dan kuliah dulu, pergerakan dan jumlahnya cukup masif, karena dianggap ceruk pasar potensial di Yogyakarta, yang notabene merupakan kota pelajar.

Pada akhirnya, saya bersyukur, karena keputusan ini tepat. Saya bisa lulus tepat waktu, dengan sedikit usaha ekstra.

Meski dalam perjalanannya kadang bertemu diskriminasi fisik di dunia kerja, karena kondisi disabilitas fisik saya, situasinya masih lebih baik, daripada saya tidak selesai studi, karena saya bukan anak "sultan" atau sebangsanya.

Setelah kuliah, saya memang nyaris tak pernah bertemu lagi dengan "bisnis" ini, dan saat saya pergi ke Jakarta, semua hal tentang itu semakin hilang dari pandangan, jarang terlihat.

Pernah sekali waktu, ada kerabat yang mengajak saya ikut "bisnis" ini di Jakarta, tapi saya waktu itu langsung menolak, setelah mendengar paparan singkat dan hadiahnya. Semua memang terlihat keren, tapi sekali lagi tidak masuk akal.

Sekembalinya saya ke Yogyakarta, ternyata money game masih eksis, kali ini merambah ke sektor digital. Ada yang memakai skema biner, ada yang masih memakai skema piramid.

Seperti pendahulunya semasa saya kuliah dulu, money game ini juga mengedepankan rekrutmen anggota baru, dengan masa manfaat relatif pendek, setelahnya, rugi terus sampai jadi kasus.

Di bulan-bulan awal masa edarnya, saya ingat, money game ini benar-benar hype. Hampir setiap hari saya melihat warna merah dan hijau di media sosial.

Semuanya terlihat keren, karena ada iming-iming pemasukan besar dan berbagai hadiah menarik, sampai pemerintah menertibkan baru-baru ini.

Ternyata, seperti pendahulunya, masalah legalitas, perilaku bermasalah oknum anggota, dan putaran uang yang macet (antara lain karena ditertibkan pemerintah) telah membuat money game ini kolaps.

Alhasil, tak ada lagi warna merah dan hijau wara-wiri di media sosial. Tapi kekhawatiran mulai muncul, karena ada begitu banyak orang yang terdampak, dengan nilai total kerugian mencapai triliunan rupiah.

Di sini, saya kembali lolos, karena sekali lagi sudah paham, skemanya kurang lebih sama. Soal langkah penertiban, pemerintah sudah bertindak tepat, karena yang ditertibkan ini memang ilegal dan berpotensi merugikan banyak orang. 

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun