Mohon tunggu...
KOMENTAR
Diary Pilihan

Resolusi di Lintasan Waktu

6 Januari 2022   12:13 Diperbarui: 6 Januari 2022   13:23 193 4
"Resolusi"

Itulah satu kata, yang paling banyak kudengar sejak tahun baru datang. Ada yang membuat satu, sepuluh, dan entah berapa lagi.

Aku?

Aku hanya butuh satu hal sederhana, yang akan membuat satu tahun yang buruk pun punya satu kemajuan.

Tahun lalu, aku masih bisa sangat bersyukur, karena meski berkali-kali mengalami "ghosting" dan bertemu kekacauan demi kekacauan, tahun itu adalah masa perbaikan dari tahun kembar.

Di tahun kembar, kekacauan memang sudah datang sejak hari pertama. Hujan deras semalam suntuk, banjir, dan pagebluk menghancurkan segalanya. Tapi, aku tetap bisa membereskan semua urusan, dan membawa pulang apa yang menjadi hakku.

Mungkin, situasinya tak sebagus milik orang lain. Ada yang menikah, punya rumah, karier sukses, punya banyak anak. Tapi, bukankah hidup itu relatif?

Ketika tahun baru akhirnya datang lagi, aku sudah terlanjur malas untuk membuat seribu satu resolusi. Cukup satu, sederhana saja, dan bisa membuat semua terasa melegakan.

Ini seperti kafein dalam secangkir kopi murni, yang bereaksi dan bermutasi menjadi dopamin, jika diminum oleh orang yang sedang tertekan. Dialah obat tidur dengan rasa yang nikmat. Dalam pekatnya, kopi juga meninggalkan rasa khas yang tahan lama. Ada rasa coklat, buah-buahan, bahkan wine.

Mungkin, cara pandangku ini membuat motivator merasa tak berguna, bahkan menangis histeris karenanya. Terlalu suram, walau sebenarnya baik-baik saja.

Tapi, jujur saja, dengan keadaan fisik seperti ini, penolakan dan diskriminasi telah membuatku harus menginjak bumi. Itu sungguh mengenyangkan, sampai membuat muak.

Buat apa bermimpi, kalau keadaan dan sistem melarang, sekalipun mimpi itu sebenarnya sederhana?

Lebih baik berjalan tanpa mimpi itu, dan tidak benar-benar berharap banyak. Jadi, saat ternyata realita berbeda dari harapan, tak ada rasa sakit di sana.

Dulu, bermimpi terasa menyenangkan. Semakin tinggi, semakin banyak, semakin lapar. Entah sukses atau tidak, selalu ada rasa penasaran yang tersisa.

Tapi, ketika umur makin bertambah, semua itu terasa absurd. Semakin banyak, semakin tak terkejar. Semakin sedikit, semakin wajar.

Entah sudah berapa banyak teman seperjuangan, yang pada akhirnya harus mengubur dalam-dalam mimpi besar mereka. Padahal, aku tahu persis, mereka orang-orang berotak cerdas, badannya sehat, dan cukup mapan.

Rasanya? Kata mereka, ini menyakitkan, karena apa yang sudah mereka impikan sejak lama harus dilupakan, walau tidak benar-benar direlakan.

Meski masih bisa mengejarnya, pagebluk memaksa mereka untuk memprioritaskan hal-hal mendasar. Mimpi? Tinggalkan saja di tempat tidur.

Aku sendiri tetap bersyukur, karena tahun baru boleh kembali datang, tanpa membawa serta hujan deras nyaris sepanjang hari.

Tahun ini mungkin akan sedikit berbeda, karena menjadi satu penanda akhir masa muda. Sebuah masa penuh semangat, lengkap dengan naik turun dan luka-luka, seperti halnya masa remaja dulu. Aku bersyukur, karena boleh menapak babak akhir masa ini.

Inilah titik lintasan waktu, menuju babak berikutnya. Semoga, pada saatnya nanti, kami boleh berpamitan dan berpisah baik-baik, tanpa ada sesal yang tertinggal.

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun