Mohon tunggu...
KOMENTAR
Bola Pilihan

Saat "Gegenpressing" Menjadi "Depressing"

4 Januari 2022   19:56 Diperbarui: 4 Januari 2022   20:09 723 5
Bicara soal "gegenpressing", sebagian orang mungkin akan mengkaitkannya dengan sosok Juergen Klopp atau sepak bola Jerman era kekinian.

Itu wajar, karena "pressing" menjadi elemen kunci tren taktik sepak bola khas Jerman, yang belakangan turut menjadi tren taktik sepak bola skala global.

Di Liga Inggris saja, selain Klopp, ada juga Thomas Tuchel (Chelsea) dan Ralf Ragnick (Manchester United) yang berstrategi mirip, dengan gaya masing-masing, dan sama-sama berasal dari Jerman.

Ragnick sendiri dikenal sebagai "penemu" sistem gegenpressing di Jerman. Boleh dibilang, dia adalah versi Eropa dari Marcelo Bielsa, karena telah menginspirasi pelatih-pelatih di Jerman, termasuk Klopp dan Tuchel.

Itu masih belum ditambah Ralph Hassenhuttl (Southampton), pelatih asal Austria yang juga eks anak didik Ralf Ragnick. Atau, Antonio Conte (Tottenham Hotspur) yang dikenal punya "gegenpressing" versi Italia, dan Marcelo Bielsa dengan gaya Latino di Leeds United.

Dalam kondisi ideal, "gegenpressing" adalah strategi yang cukup enak dilihat, karena ada transisi cepat dan tekanan konstan, yang membuat pertandingan berlangsung seru. Tak ada alasan untuk mengantuk karena bosan.

Masalahnya, jika strategi ini berjalan dalam kondisi tak ideal, skema permainan jadi berantakan. Contoh aktualnya hadir, saat Wolverhampton Wanderers menumbangkan Manchester United 0-1 di Old Trafford, Selasa (4/1, dinihari WIB).

Dalam laga ini, Si Setan Merah terjebak dalam situasi kurang ideal, karena Wolves punya kontra strategi ampuh, yakni dengan membiarkan lawan unggul penguasaan bola.

Strategi ini biasanya membuat permainan tim dengan strategi "gegenpressing" kurang berkembang. Mereka justru mampu berkembang saat kalah penguasaan bola, karena bisa bermain lebih efektif. Ada celah sedikit saja, langsung menyerang.

Taktik ini kurang ideal untuk tim yang unggul penguasaan bola. Kecuali, jika tim tersebut punya playmaker jempolan, atau punya pemain-pemain cepat.

Di Old Trafford, Ralf Ragnick benar-benar dibuat kebingungan, karena justru Wolverhampton lah yang mampu menerapkan strategi "gegenpressing" dengan baik.

Tampil dengan formasi tiga bek tengah, tim asuhan Bruno Lange mampu menekan dengan konstan sejak awal sampai akhir, dan membuat lini belakang United sibuk. Sebaliknya, serangan Cristiano Ronaldo dkk justru tampak melempem, karena permainan mereka tidak berkembang.

Alhasil, strategi "gegenpressing" ala Ragnick justru berubah menjadi "depressing", karena tim asuhannya justru banyak ditekan. Situasi terlihat semakin buruk, karena Cristiano Ronaldo dan Edinson Cavani kali ini terlihat pasif, karena agresivitas Conor Coady dkk  sukses membatasi ruang gerak mereka.

Cerdiknya, saat United mulai tampak kelelahan, Bruno Lange lalu memasukkan si cepat Adama Traore di pertengahan babak kedua. Apa boleh buat, pertahanan tim Manchester Merah jadi kocar-kacir.

Dari aksi pemain kekar inilah, gol kemenangan berawal. Umpannya memang bisa diantisipasi pertahanan The Red Devils, tapi bola liar sukses diceploskan Joao Moutinho menjadi gol.

Gol ini mengubah skor menjadi 0-1 dan bertahan sampai peluit panjang dibunyikan wasit. Hasil ini menandai kekalahan pertama pelatih asal Jerman itu sebagai pelatih sementara United.

Jelas, masih ada banyak hal yang perlu dibenahi eks bos RB Leipzig, supaya musim ini bisa terasa lebih baik di Teater Impian.

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun