Memang, ada ketentuan soal prokes dan pembatasan kapasitas pengunjung. Jemaat yang hadir pun harus sudah divaksin, dan mendaftarkan diri secara online lebih dulu, karena kuotanya terbatas.
Tapi, aturan ini tidak sepenuhnya bisa dijangkau semua pihak, khususnya sebagian jemaat generasi senior, yang masih kesulitan mengakses gawai.
Untuk kelompok usia ini, bisa dimengerti kalau mereka datang begitu saja, dengan menggunakan perlengkapan umum, seperti masker, surat vaksinasi, dan hand sanitizer.
Selain mereka, ada juga orang-orang yang memang sudah yakin kalau semua aman-aman saja, karena memang sudah divaksin, atau terlanjur kangen ke gereja.
Kalau sudah begini, harus ada yang mau mengalah untuk tidak datang. Kapasitas masih dibatasi, dan saat ini situasi (seharusnya) dalam mode waspada, karena virus Corona varian Omicron sudah mulai masuk ke Indonesia.
Berhubung secara fisik saya masuk dalam kategori rentan, tidak datang langsung ke gereja adalah pilihan paling masuk akal. Sejak pandemi datang ke Indonesia, saya sendiri memutuskan untuk tidak datang langsung ke gereja, sampai situasi benar-benar dinyatakan aman.
Patokan sederhana dari situasi benar-benar aman ini adalah, gereja dan tempat umum sudah boleh diisi penuh. Tidak ada lagi pembatasan kapasitas atau aturan ketat, apapun namanya.
Pertimbangannya simpel, ini menyangkut keselamatan. Selama kapasitas masih dibatasi, artinya situasi belum aman. Jangan lupa, ketertiban masih jadi hal yang perlu ditingkatkan dan lebih dibudayakan di negeri ini.
Sampai di sini, seharusnya semua bisa mengerti. Jadi, akan aneh, jika masih ada yang mempertanyakan, kenapa tak datang langsung ke gereja.
Ini bukan melulu soal niat, ini juga berkaitan dengan kesadaran, supaya minimal tak berbuat nekat. Di sisi lain, pihak gereja juga perlu tetap waspada pada perubahan situasi, sehingga bisa menjadi contoh positif bagi jemaat.
Mengingat situasi masih serba belum pasti, seharusnya sikap menahan diri masih perlu. Tak perlulah berangkat langsung ke gereja, jika tujuan utamanya hanya untuk aktualisasi diri.
Dalam situasi masih prihatin seperti ini, Natal seharusnya bisa menjadi lebih "riuh" secara spiritual, karena ada begitu banyak orang yang memanjatkan doa yang tak sempat terucap di mulut, khususnya selama menjalani masa sulit sepanjang tahun ini.
Jadi, ketimbang hanya membahas tentang datang langsung ke gereja atau tidak, Natal 2021 ini seharusnya menjadi momen pasĀ untuk membangun kesadaran bersama di masa sulit.
Karena, Natal bukan hanya soal kedatangan manusia ke gedung gereja, tapi Natal adalah momen karya kasih Tuhan yang rela "mengosongkan diri Nya" menjadi seorang manusia.