Maklum, juara Piala Dunia memang berasal dari kedua regional ini. Dari 21 edisi yang sudah dihelat, 12 juara dunia berasal dari Eropa, yakni Italia dan Jerman (4 kali juara), Prancis (2 kali), Spanyol dan Inggris (1 kali). Sembilan sisanya diwakili oleh trio raksasa Amerika Selatan, yakni Brasil (5 kali juara), Argentina dan Uruguay (2 kali).
Dominasi mereka juga terlihat, dari banyaknya pemain berkualitas yang muncul di tiap generasi. Ini merupakan hasil dari animo tinggi, yang didukung dengan keberadaan sistem pembinaan usia muda yang baik.
Bukti sederhananya, dari 65 edisi penghargaan Ballon D'Or (1956-2021), hanya satu nama pemenang, yang berasal dari luar Eropa atau Amerika Selatan, yakni George Weah. Legenda AC Milan yang sejak 2018 menjadi presiden di Liberia ini memenangkannya pada tahun 1995.
Sampai Piala Dunia 2002, kemampuan teknik individu yahud para pesepakbola Amerika Selatan mampu mengimbangi kekompakan khas Eropa. Tapi, setelahnya justru makin tertinggal.
Terlepas dari Uruguay yang memang inkonsisten dalam beberapa kesempatan, Brasil dan Argentina yang biasa menjadi unggulan di Piala Dunia juga tampak mulai kesulitan mengimbangi kemajuan teknologi di sepak bola Eropa.
Mereka memang dominan di kandang sendiri, tapi lain soal saat sudah menapak ajang Piala Dunia. Jangankan juara, masuk semifinal saja sudah mulai kesulitan.
Makanya, ketika CONMEBOL, selaku induk sepak bola Amerika Selatan, menggandeng UEFA untuk berkolaborasi, wacana ini jadi terlihat menarik. Dua kekuatan terkuat yang selama ini bersaing akhirnya menyatu dalam wadah Nations League.
Bak gayung bersambut, UEFA pun setuju. Salah satu alasan terbesarnya adalah untuk membendung ide kontroversial FIFA, yang berwacana menjadikan Piala Dunia sebagai event dua tahunan.
Disebut kontroversial, karena FIFA dinilai hanya fokus mengejar cuan, sementara pemain sudah cukup terforsir. Masalah ini kebetulan juga terlihat, dengan adanya jadwal pertandingan sangat padat akibat imbas pandemi.
Dengan posisi UEFA dan CONMEBOL sebagai kekuatan utama, kolaborasi mereka bisa menjadi satu upaya konsolidasi, sekaligus perlawanan nyata kepada FIFA.
Dimulai dari partai persahabatan antara Italia (juara Euro 2020) versus Argentina (juara Copa America 2021) pada 1 Juni 2022 mendatang, kerja sama ini akan berlanjut dengan bergabungnya kesepuluh negara anggota CONMEBOL sebagai kontestan UEFA Nations League 2024.
Nantinya, kesepuluh negara anggota CONMEBOL ini akan dibagi dalam dua grup, masing-masing berisi enam dan empat tim. Meski belum diputuskan format resminya, proyek kolaborasi ini sudah dikonfirmasi kebenarannya oleh Zbigniew Boniek, wakil presiden UEFA yang juga legenda Timnas Polandia, Sabtu (18/12).
Selain menguntungkan secara bisnis dan politis, kolaborasi UEFA dan CONMEBOL akan menguntungkan secara teknis, khususnya bagi anggota CONMEBOL, karena mereka bisa mulai mengejar ketertinggalannya dari UEFA.
Melihat situasinya, bukan kejutan kalau di masa depan akan ada negara peserta Copa America "jalur undangan" yang berasal dari Eropa. Begitu juga dengan peluang negara anggota CONMEBOL tampil di Euro, lewat jalur UEFA Nations League.
Tapi, "kemesraan" antara UEFA dan CONMEBOL akan jadi penentu, seberapa lama mereka bisa membendung wacana FIFA, bahkan mengubah pikiran FIFA soal perubahan durasi penyelenggaraan Piala Dunia.
Jika mereka bisa terus solid, FIFA pasti akan kesulitan, tapi sekali pecah kongsi, itu akan membuat semuanya lebih mudah buat FIFA.
Menarik ditunggu, bagaimana kelanjutan proyek kolaborasi UEFA dan CONMEBOL ini.