Oke, prediksi itu logis, khususnya bagi mereka yang tidak bisa beradaptasi dengan perkembangan teknologi. Perkembangan teknologi sendiri sebenarnya jadi satu isu serius, karena semakin lama semakin cepat dan mahal.
Tidak semua orang bisa mengikutinya, dan karenanya mereka bisa "kesepian". Masalahnya, tak perlu menunggu sampai tahun 2045, pada masa sekarang pun kesepian sudah menemani hidup sebagian manusia.
Salah satu pemicunya adalah pandemi yang masih berkepanjangan. Semua jadi serba daring, serba virtual, tapi hanya ada sedikit kesempatan, untuk bisa berinteraksi langsung. Padahal, interaksi langsung inilah yang merupakan satu kebutuhan primer manusia, dalam posisinya sebagai makhluk sosial.
Makanya, ketika situasi belakangan tampak membaik, ada begitu banyak orang yang tak mau lagi menahan diri, entah untuk berlibur atau bertemu langsung. Semacam kesempatan balas dendam karena sudah sekian lama dibatasi sedemikian rupa.
Sebenarnya, sikap ini bisa dimengerti. Masalahnya, ketika mereka yang memilih tetap menahan diri jadi minoritas, mereka justru jadi kelompok yang kesepian.
Kesepian-kesepian ini juga merembet ke orang-orang yang tak pernah punya ruang cukup untuk didengar, entah karena kesibukan, atau lingkungannya. Di sini, saya sedikit beruntung, karena masih punya teman yang bisa saya dengar keluh kesahnya, sekaligus mau mendengar keluh kesah saya.
Meski kedengarannya sederhana, "mendengar dan didengar" ternyata jadi sesuatu yang berharga. Tapi, tetap harus seimbang, supaya tidak jadi stres karenanya.
Di tengah masyarakat yang cenderung gemar membandingkan dan terlalu "kepo" dengan hal pribadi (seperti status pekerjaan, status pernikahan, gaji, dan sebagainya) "isolasi diri" menjadi opsi paling masuk akal. Maklum, jika terlalu diikuti, budaya semacam itu akan menjadi racun bagi pikiran.
Ini masih belum ditambah banyaknya berita yang meresahkan, mulai dari yang hoaks sampai yang valid. Begitu juga dengan media sosial, yang tak henti-hentinya menghadirkan konten pamer pengundang rasa insecure.
Tapi, tindakan ini membawa satu konsekuensi berupa rasa "kesepian". Apa yang seharusnya perlu dikatakan jadi disimpan rapat-rapat, sebelum akhirnya jadi bom waktu yang meledak.
Karenanya, setiap kali ada teman yang mau bercerita, tentang apa yang selama ini dia pendam, saya akan membiarkannya berbicara sampai tuntas, seperti kaset pita. Ini penting, karena jika curhat tidak tersampaikan dengan tuntas, tentu akan terasa menjengkelkan.
Jangan lupa, untuk bisa curhat saja, selalu dibutuhkan keberanian besar. Mereka layak didengar, karena sudah berani jujur soal dirinya sendiri, dan bisa mendengar hal-hal seperti ini adalah satu kehormatan.
Pada awalnya, mungkin akan mengagetkan, tapi jika kita mau mendengarkan dan memahami sudut pandang mereka, semuanya jadi terasa wajar. Dari sini, kita bisa saling bertukar posisi saat diperlukan, karena sudah saling memahami.
Memang, ada kalanya saya curhat lewat tulisan, sebagai satu terapi psikologi. Hanya saja, saya kadang masih harus berhati-hati, terutama jika masalahnya menyerempet hal-hal sensitif, seperti sudut pandang saya sebagai seorang penyandang disabilitas.
Karenanya, saya kadang berdiskusi dulu dengan mereka yang lebih berpengalaman dalam "berbicara kritis" sebelum menuliskannya.
Kemajuan teknologi memang memudahkan banyak hal. Tapi, ia terlihat seperti pedang bermata dua, karena pada saat bersamaan juga bisa mendorong orang untuk memilih berteman dengan rasa sepi, meski harus merasa kesepian.
Inilah yang membuat saya kurang setuju dengan frasa "karena wanita ingin dimengerti" untuk konteks situasi kesepian. Masalah kesepian ini bukan hanya dialami para wanita, tapi manusia secara umum. Apalagi, dalam situasi seperti sekarang.
Maka, disinilah "kehadiran" dan "kesediaan untuk mendengar dan didengar" menjadi hal yang sangat berharga dalam menghadapi kesepian. Karena manusia ingin dimengerti dan dimanusiakan.