Penyebabnya, limbah produksi kantong plastik sekali pakai sangat berbahaya bagi lingkungan. Selain itu, sampah plastik ternyata tidak mudah terurai, dan dapat merusak lingkungan dalam jangka panjang.
Perubahan gaya hidup ini lalu menghadirkan beragam terobosan, seperti hadirnya kantong plastik dari singkong yang mudah terurai, dan belakangan didukung pemerintah, antara lain lewat pencanangan target  Net-Zero Emissions (NZE) selambat-lambatnya tahun 2060.
Kebijakan ini sejalan dengan temuan studi Jambeck et.al (2015) yang menemukan, Indonesia adalah negara dengan penyumbang limbah plastik terbanyak kedua di dunia, dengan "kontribusi" sebesar 10,1% dari total limbah plastik global. Angka ini hanya kalah dari Tiongkok (27.7 %).
Secara pribadi, saya sendiri memilih untuk menggunakan tas kain, untuk membawa barang bawaan, entah pakaian kotor, snack, atau botol minuman. Pertimbangannya simpel, tas kain bisa dipakai berkali-kali dan dicuci bersih, seperti baju atau celana, plus lebih mudah terurai ketimbang plastik.
Harganya pun terjangkau, karena bisa didapat jika kita belanja di minimarket, atau mendapat hadiah souvenir, misalnya dari acara pernikahan. Kebetulan, jenis souvenir berupa tas kain belakangan sedang naik daun.
Cukup punya satu atau dua buah, itu sudah sangat membantu. Apalagi, jika didapat secara gratis. Baik untuk kesehatan kantong, dan lebih ramah lingkungan. Kurang apa lagi?
Sebenarnya, selain tas kain, ada juga tas kantong plastik berbahan singkong yang sedang populer. Saat merantau ke Jakarta beberapa waktu lalu, saya sempat bekerja di perusahaan yang menjual produk ramah lingkungan, yang antara lain menjual produk tas nonplastik.
Jadi, ada sedikit informasi yang bisa saya jadikan pertimbangan, sebelum akhirnya mantap memilih untuk memakai tas kain.
Secara fisik, kantong plastik berbahan singkong ini memang lebih mudah terurai daripada tas plastik, dan idealnya memang dirancang untuk hanya dipakai sekali.
Masalahnya, harga produk ini kurang kompetitif dibanding tas kantong plastik "model klasik". Kalaupun ada yang kuat membeli secara rutin, mereka umumnya berasal dari sebagian masyarakat kalangan menengah atas, masyarakat kelas atas, atau korporasi.
Kelemahan ini muncul, karena kantong plastik berbahan singkong masih belum bisa diproduksi secara massal. Ini tidak seperti produksi kantong plastik biasa, yang memang sudah berskala massal sejak lama.
Dengan masih besarnya jumlah masyarakat (di Indonesia) yang belum benar-benar mapan kondisi ekonominya, sensitivitas mereka terhadap harga jelas sangat tinggi. Dalam kondisi normal saja, harga sudah jadi masalah, apalagi, di masa pandemi dan transisi seperti sekarang.
Para produsen kantong plastik "versi baru" ini boleh saja giat menggembar-gemborkan isu lingkungan hidup, untuk mempromosikan nilai tambah produk mereka. Tapi, mereka seharusnya sadar, di zaman sekarang, konsumen sudah sangat cerdas.
Mereka bisa memilih dan menilai langsung sebuah produk. Sebagus apapun "value"-nya, selama itu kurang bersahabat di kantong, sebuah produk akan kalah dengan produk substitusi berharga lebih terjangkau, dengan fungsi dasar yang sama.
Seharusnya, para produsen dan pelaku bisnis menyadari ini. Mereka memang bisa menghadirkan alternatif produk baru, tapi keputusan akhir sepenuhnya berada di tangan konsumen, karena sekarang adalah era customer oriented.
Satu hal lain, yang membuat saya lebih memilih tas kain adalah, tas kantong plastik berbahan singkong ini masih mengandung unsur mikroplastik, yang juga terkandung dalam tas plastik model lama. Bedanya, tas jenis ini lebih mudah terurai secara fisik, karena merupakan plastik jenis oxium
Plastik jenis oxium tidak seperti plastik jenis "Low Density Polythylene" yang memang sulit terurai. Maklum,
plastik jenis "Low Density Polythylene" berasal dari hasil pengolahan minyak dan gas bumi, yang dimurnikan menjadi monomer dalam temperatur tinggi.
Monomer ini lalu diproses lagi menjadi polimer (bubur atau pellet plastik; elemen mikroplastik), sebelum akhirnya diolah menjadi plastik. Inilah alasan, mengapa sampah plastik punya dampak yang cukup merusak lingkungan. Dari pembuatannya saja sudah menghasilkan polusi dan limbah, apalagi di tahap setelah pemakaian.
Tapi, bukan berarti plastik jenis oxium  benar-benar lebih aman buat lingkungan, karena oxium sendiri pada dasarnya adalah jenis plastik. Plastik jenis oxium sendiri adalah plastik konvensional yang mengandung tambahan material katalis atau pemicu (biasanya berupa oksida logam besi, kobalt atau mangan).
Materi pemicu ini bertugas membantu proses fragmentasi, yang membuatnya cepat terurai. Jika ada paparan panas atau sinar ultraviolet, proses fragmentasi bisa berjalan lebih cepat
Melihat kandungan material katalis dan sifatnya yang kurang ramah lingkungan inilah, plastik jenis oxium bukan opsi ideal. Memang ada yang memakai singkong, tapi singkong ini bukan elemen kunci, karena kuncinya adalah mikroplastik.
Mengingat urgensi kebijakan Net-Zero Emissions (NZE) dan ancaman perubahan iklim yang semakin nyata, kita jelas perlu membiasakan diri untuk (setidaknya) mengurangi penggunaan kantong plastik sekali pakai. Dari situ, kita bisa melanjutkan ke tahap-tahap selanjutnya.
Di sisi lain, pemerintah dan pihak terkait juga perlu untuk mengembangkan teknologi pengganti plastik yang ramah lingkungan dengan serius. Dengan demikian, kebijakan Net-Zero Emissions (NZE) tak akan berakhir sebagai angin lalu.
Salah satunya, dengan menggunakan bahan alami seperti rumput laut, yang memang melimpah di Indonesia. Kebetulan, di negara lain, rumput laut mulai dikembangkan sebagai salah satu bahan alternatif pengganti kemasan plastik pada makanan.
Karena bisa dibentuk menjadi lembaran kecil, dan memang berasal dari alam, rumput laut jelas lebih aman dan plastik jenis apapun.
Jika sudah dikembangkan dengan sempurna, produksi massal bisa digalakkan, dengan didukung regulasi dari pemerintah. Jadi, harga produknya bisa menjangkau semua kalangan.
Memang, alam selalu punya solusinya sendiri, tapi masalah kantong plastik ini seharusnya bisa terjawab, jika benar-benar mengandalkan bahan dari alam. Tapi, solusi itu hanya akan hadir, jika kita mau memulai dan serius menekuninya.
Alam selalu memberikan segalanya "sesuai kebutuhan", tak pernah berlebihan, apalagi kurang, sehingga keseimbangan terus terjaga. Keseimbangan itu hanya akan rusak, jika ada yang terlalu tamak.
Referensi jurnal:
 -  Jambeck, J. R., Geyer, R., Wilcox, C., Siegler, T. R., Perryman, M., Andrady, A., ... & Law, K. L. (2015). Plastic Waste Inputs From Land Into The Ocean.  Science, 347(6223), 768-771.