Penyebabnya, lomba punya sesuatu yang sama sekali berbeda. Tekanannya, levelnya, kompetisinya, strateginya, semuanya menuntut lebih, bahkan sejak tahap persiapan mengolah ide.
Karenanya, dulu saya hanya ikut lomba, jika memang punya gagasan relevan dengan topik atau tema lomba. Jika tidak, semenarik apapun hadiahnya, lupakan saja.
Di sisi lain, event lomba di Kompasiana sering menjadi arena yang terlihat menyeramkan, terutama di hari terakhir alias "deadline" lomba. Banyaknya spesialis "deadliners", yang juga merupakan Kompasianers "spesialis lomba" menjadi faktor utama.
Mereka memang bermain dengan strategi dan pengalaman mereka selama ini. Tapi, bagi saya yang bukan seorang "deadliner", berkompetisi dengan lawan seperti ini adalah sebuah mimpi buruk. Rasanya seperti semut melawan gerombolan gajah.
Apalagi, jika ternyata mereka sampai lebih diistimewakan. Misalnya, dengan diberi keleluasaan mengirim materi lomba setelah deadline lewat. Jujur saja, dari sudut pandang kompetitif, ini kurang sehat.
Para "deadliners" ini memang berusaha keras, karena mereka berpacu dengan waktu. Tapi, mereka yang bukan "deadliners" pun juga berusaha, sambil menyesuaikan diri dengan waktu yang tersedia. Jadi, seharusnya "deadliners" atau bukan, semua punya posisi setara.
Jujur saja, ketika para deadliners ini mendominasi, kadang rasanya seperti dikerjai. Jadi, saya lebih suka untuk tak rutin ikut lomba menulis.
Praktis, saya hanya memutuskan ikut, jika ada yang mengajak, topiknya bisa sedikit dieksplorasi, dan lomba tersebut masih jauh dari deadline. Selebihnya, saya hanya meramaikan. Apapun hasilnya, terserah juri.
Saya memilih tak menjadi deadliner, karena saya sadar diri, tubuh saya tidak didesain untuk itu. Menulis dalam kondisi benar-benar siap selalu lebih menyenangkan daripada menulis dengan panik dan cemas.
Sebagai gantinya, saya mencoba untuk memulai di awal, supaya bisa selesai sebelum deadline. Jika ternyata masih ada ide lain yang masih relevan, ide itu juga bisa dituangkan ke dalam tulisan.
Dengan demikian, saat hari deadline datang, seharusnya itu jadi satu momen istirahat nan melegakan, bukan momen menyeramkan. Jika tata tertibnya benar-benar ditegakkan, detik-detik setelah deadline berlalu seharusnya jadi puncak kelegaan.
Baru-baru ini, saya mengikuti sebuah lomba menulis artikel di Kompasiana, yang deadline-nya baru saja tuntas, Minggu (26/9) tengah malam WIB.
Berangkat dari ajakan beberapa senior untuk mencoba lagi, saya memutuskan untuk mencoba, setelah sebelumnya sempat meraih juara ketiga, pada satu lomba menulis artikel dengan topik dari bidang serupa.
Semua itu berhasil "mengompori" saya yang sebelumnya enggan. Pengalaman yang sudah-sudah jadi pertimbangan. Satu-satunya hal yang membuat saya senang (untuk saat ini) dari lomba itu hanyalah bisa memposting artikel berikut gambarnya dengan selamat.
Di sisi lain, lomba menulis artikel yang belakangan saya ikuti, pelan-pelan menjadi semacam "trauma healing" buat saya, khususnya dalam hal lomba dan bersua "deadliners". Mungkin, inilah jalan untuk mendetoksifikasi memori kurang mengenakkan tersebut.
Dalam sebuah kompetisi, deadliners mungkin bukan lawan yang menyenangkan. Tapi, mereka adalah satu alasan utama, mengapa ikut berpartisipasi tanpa adanya target muluk, justru jadi terasa menyenangkan.
Tak ada tekanan atau harapan terlalu besar, tapi ada ruang cukup untuk lebih berkembang. Dengan demikian, apapun hasil akhirnya, ada kemajuan lain yang bisa jadi sangat berharga ke depannya.