Sejak diketahui berada dalam satu grup, pertemuan dua raksasa klasik Eropa ini memang sudah diprediksi akan menarik. Maklum, sebelumnya kedua tim hanya pernah bertemu dan saling mengalahkan di final Liga Champions edisi 2005 dan 2007.
Ternyata, prediksi itu benar adanya. Didukung atmosfer khas Stadion Anfield, pertandingan langsung berjalan menarik sejak awal.
Liverpool yang bermain di hadapan puluhan ribu pendukungnya langsung tancap gas. Hasilnya, gol langsung hadir saat laga belum genap menginjak sepuluh menit, setelah tendangan Trent Alexander-Arnold terdefleksi kaki Fikayo Tomori.
Unggul 1-0 lewat gol cepat membuat Si Merah makin bersemangat menggempur pertahanan I Rossoneri, yang tampak masih belum seratus persen fokus. Gol kedua hampir saja hadir, andai Mike Maignan tak tampil bagus di bawah mistar.
Kiper asal Prancis ini mampu membuat sejumlah penyelamatan, termasuk menepis tendangan penalti Mohamed Salah, setelah Ismael Bennacer kedapatan melakukan handball di kotak terlarang.
Rupanya, momen penalti gagal Salah menjadi satu titik balik buat tim asuhan Stefano Pioli. Mereka mampu bermain disiplin, meski The Kop masih memegang kendali permainan.
Dengan sabar, Si Setan Merah Italia menunggu celah terbuka di lini belakang Liverpool. Hasilnya, Ante Rebic dan Brahim Diaz sukses mengubah skor jadi 1-2, berkat gol-gol di menit-menit akhir babak pertama.
Comeback epik Si Merah-Hitam ini menutup babak pertama secara tak terduga. Tapi, tim asuhan Juergen Klopp masih belum habis.
Entah kalimat sakti apa yang dikatakan sang pelatih asal Jerman. Satu hal yang pasti, Joel Matip dkk tampil lebih baik di babak kedua.
Kembali memegang kendali permainan, The Anfield Gank mampu menyamakan kedudukan, hanya tiga menit setelah jeda. Kali ini, Mohamed Salah mampu mencetak gol, setelah memanfaatkan assist Divock Origi, pemain yang secara mengejutkan tampil sebagai starter.
Gol ini membuat pertandingan kembali hidup. Liverpool berusaha mencari gol ketiga, sementara Milan ingin mengulang momen brilian di akhir babak pertama.
Awalnya, skenario ini terancam berantakan, setelah Origi harus ditarik pada menit ke 63 akibat cedera otot. Tapi gol ketiga akhirnya benar-benar hadir di menit ke 69, berkat tendangan setengah voli Jordan Henderson dari luar kotak penalti.
Di sisa waktu pertandingan, Liverpool sebenarnya mampu membuat sibuk pertahanan Milan, yang digalang Simon Kjaer. Milan pun mampu membuat pertahanan Liverpool ketar-ketir, meski hanya sesekali menyerang.
Tapi, kedudukan tetap tak berubah. Liverpool menang 3-2, dalam laga yang berlangsung dramatis, layaknya film action. Ada ketegangan dan "plot twist" yang sungguh menarik.
Secara skor, Liverpool menang unggul, tapi efektivitas Milan juga menunjukkan, raksasa Italia itu tak boleh dianggap remeh.
Persaingan menuju fase gugur masih sangat terbuka, karena di pertandingan lainnya di Grup B, FC Porto dan Atletico Madrid bermain imbang tanpa gol. Keduanya merupakan lawan yang alot dan berpengalaman. Tak heran, banyak orang menyebut Grup B sebagai grup maut.
Pertandingan "reuni final Liga Champions 2005 dan 2007" ini mungkin akan jadi satu "best match" di Liga Champions, karena kedua tim sama-sama mampu membalikkan keadaan dan bermain bagus. Sebuah cerita manis di Stadion Anfield, dalam laga perdana dengan suporter penuh sejak pandemi merebak.
Kualitas seperti inilah, yang sudah seharusnya ditampilkan di ajang sekelas Liga Champions, yang notabene kompetisi antarklub Eropa kasta tertinggi. Inilah yang pada akhirnya membuat sepak bola menjadi pemenang sejati, karena pertandingan yang dimainkan benar-benar berkualitas.