Bersama Louis Van Gaal, Hiddink menjadi salah satu pelatih Belanda tersukses di era modern. Keduanya sama-sama punya kemampuan taktis dan prestasi mumpuni.
Meski tak sekeras Van Gaal, sosok yang dulunya bermain sebagai gelandang ini tak segan untuk bertindak tegas. Momen ini antara lain terjadi saat dirinya memulangkan Edgar Davids pada Euro 1996 di Inggris, setelah Si Pitbull kedapatan berkomentar kurang pantas di media.
Meski begitu, ia tak segan memberi kesempatan kedua pada Davids, yang ikut ambil bagian di Piala Dunia 1998. Di sini, terlihat jelas kemampuannya dalam hal membuat tim menjadi satu kesatuan yang kompak.
Sebagai pemain, Guus Hiddink menghabiskan sebagian besar karier bermainnya di De Graafschaap, NEC Nijmegen dan sebentar di PSV Eindhoven antara tahun 1967-1982. Sosok kelahiran 8 November 1946 ini lalu memulai perjalanannya di dunia kepelatihan, dengan menjadi asisten pelatih De Graafschaap dan PSV antara tahun 1982-1987.
Peran sebagai pelatih kepala baru dijabatnya pada pekan-pekan akhir musim 1986/1987, kala menggantikan posisi Hans Kraay di PSV. Berkat kesuksesan meraih juara liga di akhir musim, klub lalu menjadikan sang caretaker sebagai pelatih tetap.
Musim penuh pertamanya sebagai pelatih pun dimulai pada musim 1987/1988, dengan langsung menghadirkan prestasi gemilang bagi De Rood-Witten.
Dalam tim yang antara lain diperkuat Ronald Koeman, Hans Van Breukelen dan Wim Kieft, PSV Eindhoven sukses berjaya di Belanda dan Eropa.
Di dalam negeri, tim milik perusahaan Phillips ini sukses mengungguli Ajax besutan Johan Cruyff di klasemen akhir Eredivisie, dan mengalahkan Roda JC di final Piala Belanda. Di Liga Champions Eropa, titel pertama (dan masih satu-satunya) diraih, setelah menang adu penalti atas Benfica (Portugal) dengan skor 6-5.
Prestasi ini sekaligus mengukuhkan status De Lampen sebagai klub "The Big Three" Eredivisie Belanda, bersama Ajax Amsterdam dan Feyenoord Rotterdam. Ketiganya merupakan klub tersukses di Liga Belanda yang sama-sama pernah juara Liga Champions.
Semasa tiga tahun membesut PSV (1987-1990), ia membawa klub meraih hat-trick juara liga. Romario yang kelak menjadi legenda Timnas Brasil juga diorbitkannya pada periode ini, segera setelah didatangkan pada musim panas 1988.
Dalam perjalanan karier melatihnya, Hiddink punya satu catatan unik, yakni pernah melatih tiga klub dalam dua periode berbeda. Klub-klub tersebut adalah Valencia (1991-1993 dan 1994), PSV Eindhoven (1987-1990 dan 2002-2006) dan Chelsea (2009 dan 2015-2016).
Di ketiga klub ini, prestasinya tergolong bagus. Di periode keduanya, PSV Eindhoven kembali meraih tiga gelar Eredivisie, plus lolos ke semifinal Liga Champions musim 2004/2005. Bukan hanya itu, pemain bintang kembali diorbitkannya di Stadion Phillips, antara lain Park Ji-Sung dan Arjen Robben.
Di Inggris, Chelsea mampu meraih trofi Piala FA, menjadi semifinalis Liga Champions, dan finis di papan atas klasemen Liga Inggris musim 2008/2009. Padahal, sebelum kedatangannya sebagai pelatih interim, performa Si Biru cenderung anjlok bersama Luiz Felipe Scolari.
Pada periode keduanya di London, Hiddink kembali datang sebagai pelatih interim. Meski tak meraih trofi, klub milik Roman Abramovich mampu dibawanya finis di posisi sepuluh besar, setelah sebelumnya tersesat di papan bawah klasemen Liga Inggris musim 2015/2016.
Di Spanyol, Valencia mampu dibawanya bersaing di papan atas La Liga dan sekali menembus semifinal Copa Del Rey (musim 1992/1993), dalam satu fase putus-sambung antara tahun 1991-1994. Sebuah capaian yang lumayan, karena pada periode itu grafik prestasi Los Che masih timbul tenggelam.
Di level antarnegara, sosok yang namanya diabadikan sebagai nama stadion nasional di kota Gwangju (Korea Selatan) juga pernah dua kali melatih Timnas Belanda, dengan dua rasa berbeda. Periode pertamanya (1995-1998) cukup sukses.
Tim Oranye yang kala itu antara lain dibintangi Patrick Kluivert dan Dennis Bergkamp dibawanya lolos ke babak perempatfinal Euro 1996 dan semifinal Piala Dunia 1998. Di dua kesempatan ini, Oranje tersingkir di babak adu penalti.
Sayang, periode keduanya berlangsung pendek. Datang sebagai pengganti Louis Van Gaal usai Piala Dunia 2014, Hiddink dibebastugaskan setahun kemudian, menyusul performa jeblok tim.
Catatan unik lainnya dari seorang Guus Hiddink adalah, ia pernah dua kali rangkap tugas sebagai pelatih klub dan timnas. Sesuatu yang langka di sepak bola modern.
Momen pertama terjadi di musim 2005/2006 saat melatih PSV. Kala itu, ia juga bertugas melatih Timnas Australia, yang masih merupakan anggota OFC (Konfederasi Sepak Bola Oseania), jelang play-off kualifikasi Piala Dunia 2006 versus Uruguay.
Sebagai informasi, Timnas Australia baru bergabung dengan zona AFC setelah Piala Dunia 2006. Sebelumnya, mereka merupakan anggota OFC antara tahun 1966-2006.
Meski rangkap tugas, PSV mampu dibawanya juara Eredivisie musim 2005/2006 , dan Australia dibawanya lolos ke Piala Dunia 2006. Bukan hanya itu, The Socceroos juga dibawanya melaju ke babak perdelapan final di Jerman, capaian tertinggi dari negara anggota OFC hingga kini.
Momen kedua terjadi saat Hiddink melatih Timnas Rusia (2006-2010). Tak lama setelah membawa Andrey Arshavin dkk lolos ke semifinal Euro 2008, datang tawaran melatih dari Chelsea di awal tahun 2009.
Karena faktor keberadaan Roman Abramovich di Chelsea, Hiddink diperbolehkan RFU (PSSI-nya Rusia) merangkap tugas sampai akhir musim 2008/2009.
Sayang, meski kiprahnya di Chelsea berakhir manis, kiprahnya di Timnas Rusia berakhir kurang mengenakkan, seiring kegagalan Tim Beruang Merah lolos ke Piala Dunia 2010, akibat kalah di babak play-off atas Slovenia.
Meski begitu, Hiddink tetap jadi sosok "media darling" di Rusia, berkat prestasi di Euro 2008. Pada prosesnya, Timnas Rusia kala itu memang mampu membuat kejutan besar, dengan menyingkirkan Inggris di babak kualifikasi dan Belanda di babak perempatfinal.
Selebihnya, petualangan lintas negara dan lintas benua Guus Hiddink sebagai seorang pelatih diisi beberapa kiprah singkat dengan beragam cerita.
Saat melatih di Turki, kiprahnya bersama Fenerbahce (1990-1991) dan Timnas Turki (2010-2011) berakhir muram. Begitu juga saat melatih Real Madrid (1998-1999) dan Real Betis (2000).
Dalam momen-momen ini, cerita bagusnya hanya berupa satu trofi Piala Interkontinental yang diraih bersama Real Madrid. Selebihnya sumir.
Dari beberapa kiprah singkatnya, selain bersama Chelsea dan Timnas Australia, kiprah di Timnas Korea Selatan (2001-2002) menjadi cerita paling sukses. Meski diiringi kontroversi kepemimpinan wasit, Tim Setan Merah sukses mencatat sejarah, sebagai tim Asia pertama yang lolos ke semifinal Piala Dunia.
Berkat kesuksesannya mengantar Ksatria Taeguk ke semifinal Piala Dunia 2002, Hiddink didaulat menjadi warga negara kehormatan Korea Selatan, dan mendapat berbagai penghargaan lain dari pemerintah Korea Selatan.
Kiprah singkat lain yang cukup bagus sempat ditorehkan Hiddink saat melatih Anzhi Makhachkala (2012-2013). Dengan antara lain dibintangi Samuel Eto'o, Si Kuning-Hijau berhasil dibawanya finis di peringkat ketiga Liga Primer Rusia dan perdelapan final Liga Europa. Sebuah titik tertinggi dari klub yang kini berada di kasta bawah Liga Rusia.
Dari kiprah panjangnya sebagai pelatih, Guus Hiddink sempat sekali waktu melatih timnas junior, yakni saat melatih Timnas U-21 China (2018-2019). Hanya saja, kiprahnya di sana berakhir, seiring kekalahan 0-2 dari Timnas U-22 Vietnam asuhan Park Hang Seo, yang notabene merupakan asistennya semasa melatih Timnas Korea Selatan.
Di akhir karier kepelatihannya, sosok yang pernah melatih di tiga zona berbeda (AFC, OFC dan UEFA) ini merambah ke zona CONCACAF (Amerika Utara dan Tengah) dengan melatih Timnas Curacao (2020-2021).
Kiprah singkat Hiddink di negara kepulauan Karibia itu sempat diwarnai absensi sejenak, karena dirinya sempat terinfeksi COVID-19. Setelah sempat digantikan Patrick Kluivert secara interim, Hiddink akhirnya memutuskan pensiun pada Kamis (9/9) lalu.
Momen ini sekaligus menutup kiprah panjang Guus Hiddink sebagai pelatih. Sejumlah prestasi, baik di tingkat klub maupun negara selama hampir empat dekade, menjadi bukti kehebatannya.
Tak heran, KNVB (PSSI-nya Belanda) sempat mengganjarnya dengan memberi "Lifetime Achievement Award" pada tahun 2007. Selain dirinya, hanya Rinus Michiels dan Johan Cruyff, duet dedengkot dan master "Total Football", yang pernah meraihnya.
Meski tergolong pelatih petualang, kemampuan adaptasi dan taktiknya benar-benar istimewa. Tim-tim non-unggulan seperti Korea Selatan dan Rusia bahkan mampu dibawanya berprestasi.