Secara performa, inkonsistensi ini sebenarnya wajar, karena rival sekota Lazio tergolong cukup sering berganti pelatih. Hanya saja, sejak Fabio Capello hengkang di tahun 2004, belum ada lagi pelatih "kelas berat" yang mendarat di Trigoria.
Catatan itu baru berakhir, seturut kedatangan Jose Mourinho di musim panas 2021. Tak pelak, optimisme pun muncul, karena pelatih asal Portugal ini cukup kenyang pengalaman, termasuk dalam hal meraih trofi juara.
Kedatangan eks pelatih Inter Milan ke Roma sendiri adalah satu perjumpaan ideal. Maklum, Si Serigala butuh sentuhan pelatih berpengalaman, sementara Mou ingin melatih klub yang menjamin dirinya bisa bekerja dengan leluasa.
Simbiosis mutualisme ini antara lain terlihat dari nama-nama baru yang diboyong The Special One ke Kota Abadi, yakni Rui Patricio, Eldor Shomurodov, dan Tammy Abraham. Ketiganya menjadi gambaran upaya eks pelatih Real Madrid untuk membenahi kelemahan tim.
Memang, sejak ditinggal Alisson ke Liverpool tiga tahun lalu, I Giallorossi belum punya lagi kiper yang mumpuni. Dengan statusnya sebagai kiper utama Timnas Portugal, eks kiper Sporting Lisbon berusia 33 tahun ini bisa jadi solusi, setidaknya untuk jangka menengah.
Sementara itu Shomurodov dan Abraham menjadi senjata di lini depan, dengan keduanya sama-sama sudah mulai membuat gol dan assist. Di sini, kedalaman tim terlihat menjanjikan, karena Nicolo Zainolo sudah mulai bermain dan mencetak gol.
Gelandang serang Italia ini memang menjadi satu talenta menjanjikan di Negeri Pizza. Sayang terpaan cedera panjang membuatnya sempat absen lebih dari setahun terakhir.
Di sisi lain, nama-nama senior seperti Juan Jesus, Pedro Rodriguez, dan Alessandro Florenzi dipersilakan hengkang. Sebuah upaya penyegaran yang wajar.
Menariknya, sosok pemain kunci dalam diri Edin Dzeko berani dilepas ke Inter Milan, begitu juga dengan Justin Kluivert, penyerang muda asal Belanda yang dipinjamkan ke OGC Nice, klub Ligue 1 Prancis.
Di sini, eks pelatih FC Porto benar-benar ingin membangun tim sesuai keinginannya. Keseriusan itu juga terlihat, dari sikap "irit bicara" kepada media, dan penggunaan drone untuk memonitor sesi latihan.
Tentunya, ini sudah cukup menggambarkan seberapa serius eks pelatih Chelsea dalam mempersiapkan tim. Ia bahkan berani melawan satu ciri khas yang selama ini jadi satu kebiasaan: banyak bicara atau melempar komentar "psywar" di media.
Hasilnya, I Lupi berhasil lolos ke fase grup UEFA Europa Conference League, setelah mengalahkan Trabzonspor (Turki) dengan agregat 5-1. Di liga, kemenangan atas Fiorentina (3-1) dan Salernitana (4-0) juga diraih di dua pertandingan awal Serie A. Sebuah catatan performa awal musim impresif, untuk ukuran tim yang kerap inkonsisten.
Dari segi permainan, klub kesayangan Romanisti juga cukup menarik untuk dilihat. Meski masih konsisten dengan pola 4-2-3-1, gaya main defensif yang selama ini jadi satu ciri khas Jose Mourinho tak lagi jadi acuan mutlak.
Lorenzo Pellegrini dkk tetap mampu agresif dalam hal menciptakan peluang gol, baik saat sedang unggul dalam penguasaan bola maupun tidak. Sebuah kelebihan yang bisa jadi sangat berguna buat mereka di musim ini.
Liga Italia memang baru menuntaskan pekan kedua, tapi apa yang ditampilkan Roma bisa membawa mereka berbicara banyak, selama bisa konsisten. Di sisi lain, sorotan media Italia yang tak seganas media Inggris, terbukti mampu membuat seorang Jose Mourinho merasa nyaman, karena sikap "irit bicara" nya tak dipermasalahkan.
Agaknya, "Roma versi Mourinho" akan jadi "sesuatu" di musim ini. Mampukah Roma dan Mourinho mencapainya?