Penyebabnya, pemerintah memberlakukan pelonggaran aturan PPKM, dari yang awalnya tak boleh makan di restoran alias "Dine In" menjadi boleh, tapi dengan batas waktu maksimal dua puluh menit.
Tidak disebutkan apakah dua puluh menit ini hanya mencakup durasi saat makan, atau sudah termasuk durasi memasak dan menyajikan makanan. Di sini, aturan itu terlihat agak  membingungkan.
Kalau itu di warteg atau restoran Padang, mungkin lebih gampang. Tinggal tunjuk menu ini-itu, cemplang-cemplung di piring, hidangan sudah siap, tak sampai lima menit, kalau tak antri banyak.
Kalau di restoran kelas mahal, perkaranya tak semudah itu Ferguso. Satu menu kadang butuh waktu lebih dari dua puluh menit untuk dimasak dan disajikan.
Itu baru satu menu. Belum lagi kalau yang dipesan beberapa menu sekaligus, dan si pemesan ini sedang ingin makan banyak. Bisa-bisa, dapur jadi medan perang.
Kalau dua puluh menit itu hanya mencakup durasi saat makan, urusannya lebih gampang
Di sini, pak polisi dan TNI bisa ikut mengawasi. Mereka tinggal menyiapkan "stop watch" dan peluit layaknya wasit, sekalian melatih masyarakat untuk belajar makan dengan cepat, seperti saat mereka digembleng di akademi dulu.
Jadi, tak ada waktu untuk upload foto atau membuat vlog. Durasi mepet, yang antri juga banyak. Tak bisa aneh-aneh.
Tiap lima menit sekali, para wasit ini memberi tahu sisa waktu makan. Misalnya, "Waktu Anda tinggal 10 menit lagi", dan seterusnya. Kalau masih kurang, pak satpol PP bisa diberdayakan.
Tidak ada injury time, sekalipun ada yang keselek sampai termehek-mehek. Mirip lomba tujuh belasan.
Memang, saat sedang sangat buru-buru, orang bisa menelan sebutir bakso tanpa mengunyahnya. Tinggal digelontor kuah, beres, kecuali kalau baksonya berukuran sebesar bola tenis, seperti di lapangan tembak Senayan.
Oke, mungkin pemerintah ingin coba menghapus kebiasaan pamer makanan dan foto di restoran yang unfaedah. Durasi waktu dua puluh menit, sama-sama bisa membuat adrenalin penjual dan pembeli naik, seperti sedang dikejar deadline
Ini cukup bagus, karena makan jadi lebih fokus. Tak ada foto-foto, tak ada video. Kalau mau dibuat vlog, take away saja, ngevlog di rumah saja.
Penjual pun bisa belajar teknik masak dadakan. Jadi, bukan cuma tahu bulat saja yang bisa digoreng dadakan.
Mungkin, pembuat kebijakan ini paham betul, sebagian orang Indonesia punya mental deadliner alias suka mepet, dan punya jurus andalan "The Power of Kepepet" yang sudah tersohor.
Masalahnya, berhubung aturan "20 menit" ini punya sayap, saya ragu ini bakal berjalan dengan baik. Tahu sendirilah, Indonesia punya jam karet, yang konon katanya sudah mendunia, seperti Luffy Si Manusia Karet dari Jepang.
Kalau aturan ini tak diperjelas, restoran bisa jadi kambing hitam. Padahal, aturannya saja yang memang membingungkan.
Sekalipun para pelaku usaha restoran sudah berusaha tertib, gawat kalau konsumen yang bandel masih banyak.
Kemungkinan ini cukup terbuka, karena yang antimasker dan antivaksin saja banyak, apalagi yang cuma tidak tertib aturan.
Jangan lupa, di negeri berbunga ini, aturan masih dibuat untuk dilanggar. Jalanan disekat marka beton saja masih diterobos, apalagi cuma perkara durasi.
Jadi, jika ternyata aturan ini menjadi blunder, semoga yang dibubarkan adalah kerumunannya, bukan tempat dagangannya. Jangan mengatasi masalah dengan masalah, tapi atasi masalah tanpa masalah.
Jangan malu, meminjam "tagline" iklan Pegadaian, karena itu gratis, bebas bunga juga.