Sebenarnya, tak ada masalah dengan pesannya, karena esensi pesan yang disampaikan berfokus pada kebhinekaan dan himbauan untuk patuh pada protokol kesehatan.
Keduanya sangat relevan dengan situasi aktual negara. Soal kebhinekaan, negara ini memang masih punya PR yang belum beres.
Misalnya, imbas polarisasi pasca-pemilu 2019, yang sampai hari ini masih saja mengadu hewan amfibi dan reptil di satu arena duel. Padahal, dua hewan ini awalnya cuma jadi maskot dadakan.
Kalau hewan yang jadi maskot sama-sama kuda atau keong, bolehlah ikut lomba balap. Kalau sama-sama sapi, bisa berangkat ikut karapan sapi di Madura.
Nah, amfibi dan reptil ini ikut lomba apa? Mereka beda alam. Adu jago, nanti dipatok ayam, main tinju, nanti kena sensor.
Cape deh.
Soal himbauan untuk patuh pada prokes, rasanya ini sangat wajar. Maklum meski cenderung fluktuatif seperti jet coaster, angka kasus baru penderita COVID-19 di Indonesia masih saja tinggi, bahkan menjadi salah satu yang tertinggi.
Bukan hanya tertinggi di Asia, tapi di dunia. Membagongkan sekali.
Satu pertanyaan muncul, karena baliho ibu ketua DPR itu ada dimana-mana. Jumlahnya juga cukup banyak, seperti warung kopi kekinian. Pertanyaannya simpel, kenapa?
Mungkin, sebagai ketua DPR, beliau menyadari, tingkat keaktifan lembaga yang dipimpinnya ini seperti "antara ada dan tiada".
Biasanya, anggota dewan banyak disorot saat membuat undang-undang yang dinilai kontroversial, atau ada oknum anggota DPR yang kedapatan terjerat kasus, entah korupsi atau lainnya.
Selebihnya, orang kadang sampai bertanya, lembaga ini sebenarnya ada betulan atau tidak?