Kebanyakan orang yang mengakses media sosial di era kiwari pasti paham, atau minimal pernah mendengar kata ini. Konten flexing alias pamer, salah satunya harta, memang sudah muncul sejak beberapa tahun terakhir, dan mampu menarik perhatian banyak orang.
Awalnya, ini banyak muncul di platform Tiktok, tapi belakangan ikut merambah ke Instagram dan platform lain. Saya sendiri awalnya cuek saja. Saya tak pernah pakai Tiktok, karena memang terkendala kelainan syaraf motorik bawaan, kecuali jika ada yang meng-upload konten itu ke Instagram.
Tapi, belakangan konten flexing itu mulai muncul di lini masa saya. Penyebabnya, ada beberapa teman yang sedang iseng mencoba menjadi kreator konten jenis itu untuk lucu-lucuan, dan belakangan merambah ke Instagram atau platform medsos lainnya.
Mau tak mau, saya memilih untuk langsung men-scroll konten itu ke bawah, karena barang atau makanan yang ia tunjukkan kadang punya harga luar biasa bagi saya, tapi bukan selera saya.
Saya tak memilih berkomentar apapun, apalagi mengkritisi, karena teman saya ini memang berasal dari keluarga yang secara materi "lebih dari cukup". Dalam hal ini, mereka memang tak membohongi siapapun, dan punya selera pribadinya sendiri.
Sejak lama, kami memang punya "standar bahagia" yang berbeda. Saya sudah merasa bahagia, kalau sudah minum secangkir kopi, makan sampai kenyang, walau dengan lauk seadanya, atau jika ada yang memberi hadiah, sekalipun itu sebenarnya biasa saja.
Tentunya, ini terdengar sangat receh. Saking recehnya, seorang teman di kantor dulu sampai pernah menyebut, standar bahagia saya sangat sederhana, gampang sekali didapat.
Ini jelas berbeda dengan teman saya, yang kadang iseng berkreasi dengan konten flexing-nya itu.
Mereka mungkin punya satu kepuasan tersendiri, jika banyak orang tahu, kalau ia punya barang atau membeli makanan dengan harga ratusan juta sampai miliaran rupiah, sekalipun secara fungsi tak ada bedanya dengan yang harga biasa.
Atau, bisa juga ia merasa puas, kalau semua orang tahu, ia pernah mengunjungi berbagai tempat unik di penjuru dunia.
Saya jelas hanya bisa bilang "wow", karena kemampuan finansialnya memang jauh di luar jangkauan saya. Tapi, saya tak punya keinginan sedikitpun untuk menirunya, apalagi terobsesi dengannya.
Terlalu merepotkan jika semuanya harus saya ikuti, karena yang seperti itu jumlahnya cukup banyak. Lagipula, kami awalnya saling mengenal, bukan karena apa yang kami punya secara materi, atau bagaimana latar belakang keluarga masing-masing.
Jika hubungan baik itu bisa berlanjut, itu karena kami memang punya respek yang sudah bertahan lama.
Kalaupun ada pihak yang protes pada konten flexing mereka, saya tak berhak membela. Mereka seharusnya sudah cukup dewasa, untuk sadar dan paham pada semua jenis dampaknya.
Menariknya, hal ini sekaligus menunjukkan, "bahagia" sebenarnya adalah sesuatu yang relatif. Tak ada standar paten yang jelas tentangnya, karena ia terbentuk dari nilai dan lingkungan di sekitar.
Setiap orang punya standar nilainya sendiri, dan tak bisa dipukul rata. Meski standarnya tak sama persis, disitulah keseimbangan hadir.
Perbedaan ini bersifat konstruktif, karena dibiarkan berjalan pada treknya masing-masing. Tapi, semua itu bisa rusak, jika ada yang menyeragamkan standarnya secara paksa.
Jika standarnya terlalu tinggi, sifat kompulsif akan hadir, yang pada akhirnya menghasilkan keserakahan dan lupa diri. Di sisi lain, jika terlalu rendah, ia bisa menghasilkan mental kerdil, karena keadaan terlanjur melenakan.