Seiring berjalannya program vaksinasi massal gratis di Indonesia, animo masyarakat terlihat cukup tinggi, meski ada juga yang memilih kontra.
Di satu sisi, animo tinggi ini cukup melegakan, karena masih ada sedikit kesadaran, di tengah banyaknya kebandelan, akibat aturan yang sejak awal pandemi selalu punya celah yang bisa diakali.
Di sisi lain, animo tinggi ini terlibat menjengkelkan, karena ada begitu banyak orang yang dengan paniknya berebut jatah vaksin, seperti saat sedang berebut sekaleng susu cap beruang di supermarket.
Entah kenapa, perilaku dari budaya terbelakang begini, justru berada di posisi terdepan dalam situasi seperti ini. Di mana kekayaan budaya dan kearifan lokal yang selama ini begitu dibanggakan, sampai dipromosikan besar-besaran itu?
Setiap ada pengumuman vaksinasi massal gratis, orang berebut tanpa malu-malu, sekalipun kuotanya terbatas. Segera setelah diumumkan, kuotanya langsung ludes tanpa sisa dalam sekejap.
Apa boleh buat, orang lain yang juga ingin divaksin akhirnya ada yang memilih minggir dulu, untuk menjaga kewarasannya. Sayang, sekadar minggir saja ternyata tak cukup. Kok bisa?
Penyebabnya, momen vaksinasi virus Corona belakangan sudah jadi barang pameran di media sosial. Banyak yang sudah vaksin, entah dosis pertama atau kedua, memamerkan itu dengan enaknya, dalam balutan rasa syukur.
Padahal, di luar sana masih ada begitu banyak orang yang belum kebagian, meski sebenarnya sangat ingin divaksin. Apa mereka yang pamer ini tahu, segetir apa rasa cemburu di luar sana? Bukan hanya mereka kok, yang sangat ingin divaksin.
Jujur, fenomena ini sangat menjengkelkan. Banyak orang terlihat panik, tapi yang berusaha tetap tenang dan memilih minggir dari kericuhan ini akhirnya jadi korban, karena dianggap malas dan tak mau berusaha.
Pertanyaannya sederhana saja, kalau bisa tenang, kenapa harus panik? Kalau Bisa tertib, kenapa harus rusuh?
Jujur saja, andai pemerintah sejak awal melakukan vaksinasi massal secara terpusat, dengan pembagian jadwal dan wilayah yang runtut dan tepat, sesuai data kependudukan, kekisruhan dan kecemburuan soal vaksinasi pasti tak akan terjadi, karena semua orang sudah pasti kebagian.
Apa gunanya pemerintah punya data kependudukan dan fasilitas kesehatan berjejaring di seluruh negeri, jika tak dimanfaatkan secara optimal?
Pandemi Corona dan segala imbasnya memang sudah sukses merusak segala hal dalam hidup dan kehidupan. Bukan hanya secara materi, tapi juga secara moral, karena empati dan kewarasan ikut terpinggirkan oleh ego dan kepanikan.