Memang, Inggris menyambut pertandingan dengan harapan tinggi publik sendiri, bahkan sejak awal turnamen. Berbeda dengan Italia yang terlihat lebih santai, karena sebelumnya absen di Piala Dunia 2018.
Entah berapa kali mereka dikritik karena hanya mencetak dua gol di fase grup, tapi justru kebanjiran pujian saat mengalahkan Jerman 2-0 di perdelapan final. Rupanya, inilah awal petaka Tim Tiga Singa.
Penyebabnya simpel, kemenangan atas Jerman membuat ekspektasi publik dan suporter melambung tinggi, bersama optimisme yang bergaung nyaring dalam jargon "It's Coming Home".
Memang, pada prosesnya, The Three Lions mampu melipat tim kejutan Ukraina dengan skor telak 4-0, dan tampil dominan. Tapi, mereka terlihat mulai terbebani dengan sorotan media dan fans.
Meski hasil menunjukkan dominasi di atas lapangan, Inggris sebenarnya lebih diuntungkan dengan kondisi demam panggung yang dialami lawan. Maklum, tim asuhan Andriy Shevchenko ini baru pertama kali tampil di perempat final Euro.
Di semifinal, beban ini mulai terlihat lebih berat. Menghadapi Denmark yang tampil spartan di Wembley, Harry Kane dkk tampak kewalahan. Andai tak mendapat hadiah penalti di babak perpanjangan waktu, dan harus melakoni babak tos-tosan, mungkin ceritanya berbeda.
Secara skor akhir, mereka memang menang 2-1 atas Tim Dinamit, tapi tidak secara permainan. Selain karena hadiah penalti, tim asuhan Gareth Southgate beruntung bisa lolos dari kekalahan di waktu normal, karena "terbantu" oleh gol bunuh diri Simon Kjaer.
Beban berat akibat ekspektasi tinggi itu memuncak, saat final akhirnya tiba. Di Wembley, harapan memang sempat melambung tinggi saat Luke Shaw mencetak gol cepat tak lama setelah kick off.
Tapi, ketangguhan mental pemain Timnas Italia justru mampu membungkam suporter Inggris yang memadati stadion. Dimulai dari gol penyeimbang dari Leonardo Bonucci di babak kedua, Wembley yang awalnya digadang-gadang sebagai panggung puncak pesta seperti di Piala Dunia 1966, justru berubah menjadi saksi bisu sebuah tragedi antiklimaks.
Di babak adu penalti, Jordan Pickford memang sukses menepis tendangan penalti Jorginho dan Andrea Belotti, tapi Gianluigi Donnarumma sukses menepis penalti Bukayo Saka dan Jadon Sancho, ditambah eksekusi Marcus Rashford yang membentur tiang gawang. Apa boleh buat, Inggris kalah 2-3, dalam laga yang sebenarnya memang didominasi Italia secara permainan.
Kekalahan di rumah sendiri atas Italia semakin terasa getir, karena oknum suporter Inggris berulah, dengan masuk ke lapangan di menit akhir babak kedua, dan menyerang kelompok suporter Italia setelah pertandingan.
Bukan hanya itu, Saka, Sancho dan Rashford juga jadi "sasaran tembak" suporter, akibat kegagalan mereka mengeksekusi penalti. Ketiganya dihujat habis di media sosial, bahkan sampai mendapat hinaan rasis.
Kekalahan ini membuat Timnas Inggris seperti mengalami Tragedi Maracana alias "Maracanazo" final Piala Dunia 1950 di Brasil yang terkenal itu. Kala itu, sama seperti Timnas Inggris dengan jargon "Football Is Coming Home", Timnas Brasil digadang publik dan media mereka keluar sebagai juara, bahkan sejak sebelum partai final dimulai.
Memang, Tim Samba saat itu mampu melaju sampai babak akhir, seperti Inggris di Euro 2020. Tapi, ekspektasi tinggi yang membebani justru jadi bumerang. Di hadapan publik sendiri, Friaca dkk takluk 1-2 dari Uruguay yang tampil spartan, seperti Italia di Wembley. Asa juara yang sudah kadung bergaung nyaring, justru berubah jadi sebuah kisah tragedi nan menyakitkan.
Kekalahan Inggris di Wembley, yang alurnya kebetulan mirip dengan Maracanazo menjadi contoh aktual, dari bahaya ekspektasi tinggi yang bisa jadi bumerang di saat kritis.
Penyebabnya, ekspektasi tinggi dan dukungan yang hadir terlanjur jadi racun. Semua siap menang, tapi tak siap kalah, padahal keduanya harus siap diterima dengan sama baik.
Di sisi lain, kesuksesan Italia meraih trofi Euro 2020 menunjukkan, mereka telah bangkit dengan menampilkan gaya bermain yang segar, sebagai sebuah tim yang kompak. Gli Azzurri memang layak menjadi raja Eropa, karena mampu bangkit dari keterpurukan, dan tak malu mengubah ciri khas sepak bola defensif mereka yang usang, menjadi lebih relevan dengan tren terkini.