Setelah beberapa kali patah hati di partai final, akhirnya kapten Timnas Argentina itu mampu mengangkat trofi juara bersama timnas.
Benar, Tim Tango akhirnya keluar sebagai juara Copa America 2021, setelah mengalahkan tuan rumah Brasil 1-0, berkat gol tunggal Angel Di Maria di babak pertama, dalam laga yang berlangsung cukup intens.
Gelar ini menjadi gelar Copa America ke 15 buat Argentina, yang sekaligus menyamai rekor Uruguay, sebagai tim tersukses di turnamen. Capaian ini makin terasa manis, karena diraih di Stadion Maracana, stadion keramat di Brasil, yang juga menjadi arena tempat La Seleccion takluk di final Piala Dunia 2014 silam.
Jika melihat bagaimana perjalanan tim sepanjang turnamen, rasanya gelar juara ini memang layak diraih.
Sejak fase grup, tim asuhan Lionel Scaloni terus menunjukkan peningkatan performa. Peningkatan ini dibarengi dengan semakin matangnya mental tim, terutama saat memasuki fase gugur.
Di perempat final, Argentina mampu bermain cerdik, dengan memanfaatkan kesalahan pemain Ekuador. Hasilnya, mereka menang 3-0.
Di semifinal, kematangan mental tim kembali terlihat. Menghadapi Kolombia yang bermain agresif, dan memaksa laga berlanjut ke babak adu penalti, mereka tak panik, dan mampu lolos ke final, berkat kesuksesan Emiliano Martinez menepis tiga penalti lawan.
Memang, Si Kutu menjadi inspirator permainan tim, dengan 4 gol dan 5 assist, yang berkontribusi terhadap 9.dari 12 gol Albiceleste sepanjang turnamen, tapi kekompakan yang ditampilkan tim menjadi satu hal kunci.
Terbukti, selain Messi yang mencorong di lini serang, ada Emiliano Martinez yang tampil oke di bawah mistar, Nicolas Otamendi yang mengomandani lini belakang, dan Rodrigo De Paul yang tampil oke di lini tengah.
Ditambah lagi, ada Angel Di Maria, Papu Gomez, dan Lautaro Martinez, yang memastikan Leo tak bekerja sendirian di lini serang seperti sebelumnya. Ini menjadi satu pendekatan taktik pelatih Lionel Scaloni, dengan melihat usia Messi yang tak lagi muda.
Ternyata, strategi ini terbukti ampuh, karena La Pulga bisa bermain lepas. Ia punya ruang leluasa untuk membuat gol atau assist. Hasilnya, gelar pemain terbaik turnamen, top skorer, dan top assist mampu diraihnya sekaligus. Luar biasa.
Andai pemain kidal ini dimatikan, masih ada pemain lain yang siap mengisi perannya. Terbukti, saat legenda Barcelona ini dijaga ketat pemain Brasil di final, masih ada Rodrigo De Paul yang mampu mengisi peran kreator, dengan dirinya mengirim assist kepada Angel Di Maria.
Di sisi lain, kecerdikan taktik Lionel Scaloni juga terlihat, dari kemampuannya membaca kelemahan taktik lawan. Benar, Brasil yang awalnya ganas di fase grup agak kewalahan di fase gugur, karena permainan disiplin Chile dan Peru, yang sama-sama dikalahkan dengan skor 1-0.
Dari dua penampilan tersebut, muncul poros Lucas Paqueta-Neymar, yang sukses diredam barisan pertahanan Argentina dengan baik. Messi dkk tak takut bermain agresif, menghadapi Brasil yang punya gaya main menyerang, dan mampu memanfaatkan kelengahan Tim Samba saat sedang asyik menyerang.
Kesuksesan ini makin terasa spesial, karena Argentina menjadi tim pertama yang mampu meraih gelar Copa America di Brasil. Sebelumnya, Selecao selalu jadi juara, tiap kali jadi tuan rumah turnamen, termasuk di edisi 2019 lalu.
Dengan capaian istimewa ini, rasanya nilai minus Messi soal nol gelar di Timnas sudah hilang. Ia bahkan mampu menampilkan performa inspiratif di usia 34 tahun, masa dimana kebanyakan pesepakbola sudah "habis". Semua kegagalannya sebelum ini juga  membuktikan, dirinya berhasil meraih trofi, karena telah "terlatih patah hati" dengan sangat baik.
Andai Jorginho gagal meraih trofi Euro 2020, rasanya pemain boncel ini akan meraih Ballon D'Or ketujuh, terutama berkat kesuksesannya di Brasil. Tapi, kemungkinan itu layak dikesampingkan sejenak. Untuk saat ini, mari kita biarkan Argentina bergembira sejenak, karena telah mengakhiri puasa gelar selama 28 tahun terakhir.