Tiada lagi yang bisa bekali jiwaku
Meredup diam dan terpaku
Terpajang hati kian membeku
Tiada gemulai senja di ujung hariku
Tiada sambutan embun di kala pagiku
Terjebak di lintasan waktu
Terbujur aku dan membatu
Kembali ke sana
Rindu kini telah menahun
Memang ingin aku berlari ke arahnya
Setelah usang menjemput nanti
Inilah lagu "Lintasan Waktu" yang belakangan hadir menemaniku lagi, saat rasa sunyi menemani hari-hariku di rumah. Dulu, lagu ini hadir saat aku dicabik luka akibat dihambat dan dibentur masalah.
Luka itu sungguh perih, karena aku tak boleh melangkah, saat orang lain sudah melangkah sedemikian jauh. Aku masih begitu-begitu saja, sama seperti kota tempat aku tinggal.
Saat akhirnya ada kesempatan melangkah, ada pagebluk datang. Semua dihantamnya tanpa ampun sampai hancur karena kehilangan daya.
Semua yang sudah dijalani bagai lenyap tanpa bekas dihajar pagebluk. Â Pagebluk itu seolah berkata,
"Semua yang kau lakukan itu sia-sia."
Memang, keadaan ini adalah satu pukulan telak. Lebih menyakitkan lagi, ia datang setelah luka lama karena rasa perih yang dulu baru mulai bisa kulupakan. Benar, aku seperti melakukan sesuatu yang tak ada gunanya.
Bahkan, aku dipaksanya melangkah mundur, dan dibuat babak belur. Aku dibuatnya menyadari sepaket realita pahit, seperti dicekoki racikan resep jamu paling pahit.
Pertama, usiaku makin bertambah. Tak ada lagi yang benar-benar bisa menemani atau membantu dengan baik. Semua sibuk dengan urusan mereka sendiri.
Jadi, tak ada yang benar-benar bisa diharapkan dari mereka. Apalagi jika mereka sudah jadi orang penting atau beranak pinak. Siapakah aku ini, jika dibandingkan dengan itu semua?
Kedua, dengan kondisi serba kacau begini, aku butuh keajaiban untuk membalik keadaan dalam sekejap. Modernitas membuat orang di usiaku terlihat terlalu tua untuk melamar kerja.
Belum lagi, jika pagebluk ikut jadi alasan. Entah kenapa, pagebluk seolah jadi lagu wajib dalam segala hal, khususnya untuk membenarkan diri.
Kadang, mereka hilang tanpa kabar, menggantung semua dengan enaknya. Melenyapkan daya upaya, selagi waktu makin tak memihak. Sudah tahun kedua pagebluk, tapi masih begitu-begitu saja.
Aku terjebak di lintasan waktu. Terpasung oleh pandangan sempit, dan tersakiti oleh kebohongan yang menyandera kedamaian.
Andai lintasan waktu seperti jalan setapak, aku ingin menapaki lagi kesialan demi kesialan yang kualami, bersama rasa pahit yang kudapat.
Walau tak bisa kulenyapkan semuanya, paling tidak, ada rasa pahit yang berkurang, seperti kopi yang diberi rum atau gula aren. Ada yang bisa sedikit diperbaiki, jauh sebelum pagebluk ini datang.
Semua ini kadang membuatku sangat merindukan masa-masa bangkit itu. Ingin rasanya kembali ke sana, tapi semoga masa itu bisa datang kembali, bersama waktu yang terus berjalan karena melangkah maju, bukan diputar balik ke belakang.