Awalnya, turnamen ini akan diselenggarakan pada tahun 2020, dalam rangka penjadwalan ulang. Setelahnya, turnamen yang sudah bergulir sejak tahun 1916 akan digelar pada tahun 2024 di Ekuador.
Masalahnya, pandemi Corona merebak, dan memaksa penyelenggaraan turnamen antarnegara ini diundur menjadi tahun 2021. Sama seperti Euro di benua Eropa.
Akibatnya, dua negara undangan, yakni Australia dan Qatar mundur. Mereka memilih fokus menghadapi babak lanjutan kualifikasi Piala Dunia zona Asia, yang sekaligus menjadi kualifikasi Piala Asia.
Apa boleh buat, Konfederasi Sepak bola Amerika Selatan (CONMEBOL) selaku penyelenggara turnamen lalu mengatur ulang grup peserta. Dari yang tadinya empat tim dalam satu grup, menjadi lima tim. Tuan rumah turnamen tetap Kolombia dan Argentina.
Sayang, rencana tinggal rencana. Kolombia akhirnya mundur karena ada gejolak politik dalam negeri, imbas pandemi. Awalnya, mereka sempat meminta kick off turnamen diundur menjadi bulan November, tapi permohonan ini ditolak CONMEBOL.
Belakangan, Argentina menyusul dicoret CONMEBOL, karena terjadi lonjakan kasus penderita COVID-19 di sana. Sebagai gantinya, Brasil (tuan rumah Copa America 2019) ditunjuk kembali sebagai tuan rumah, hanya beberapa pekan sebelum kick off turnamen.
Di sinilah keheranan muncul, karena kasus penderita COVID-19 di Brasil masih tinggi, bahkan tertinggi di Amerika Selatan. Entah kenapa, CONMEBOL seperti menutup mata, dan memilih kembali sang juara bertahan menjadi tuan rumah.
Berangkat dari fakta ini, CBF (PSSI-nya Brasil) dan otoritas setempat menyatakan keberatan atas relokasi turnamen, dan masih berkoordinasi dengan CONMEBOL.
Keberatan ini muncul, setelah para pemain Selecao merasa tak senang dengan relokasi turnamen. Kebetulan, masyarakat Negeri Samba juga memprotes keras kebijakan pemerintah Brasil, yang tetap ingin jadi tuan rumah turnamen, di tengah masih tingginya kasus infeksi virus Corona dan ketidakpastian kondisi ekonomi.
Meski begitu, keberatan ini agaknya takkan berpengaruh signifikan terhadap penyelenggaraan turnamen. Kecuali, jika aksi protes di masyarakat semakin besar dan menimbulkan gejolak politik dalam negeri, seperti yang terjadi di Kolombia.
Penyebabnya, CONMEBOL sudah mendapatkan jaminan dari pemerintah Brasil, soal penyelenggaraan Copa America. Dari segi infrastruktur, Brasil memang cukup siap, karena edisi sebelumnya sudah menjadi tuan rumah.
Satu-satunya yang bisa dimengerti dari situasi mengherankan ini adalah, pemerintah Brasil, dalam hal ini Presiden Jair Bolsonaro, ingin menjadikan turnamen Copa America sebagai panggung pencitraan, untuk dua maksud.
Pertama, lewat penyelenggaraan Copa America di Brasil, ia ingin coba mengumumkan kepada dunia, bahwa "kondisi aktual Brasil tidak segawat yang dipikirkan banyak orang".
Boleh dibilang, ini merupakan strategi propaganda ala Bolsonaro, yang sejak awal pandemi memang dikenal antimasker dan menentang lockdown.
Sang mantan jenderal bahkan sempat memimpin langsung aksi demo besar-besaran, menolak kebijakan lockdown yang diberlakukan gubernur dan walikota Rio de Janeiro belum lama ini.
Strategi propaganda semacam ini kebetulan sempat viral, saat media Tiongkok (negara muasal COVID-19) beramai-ramai memberitakan pesta di kolam renang kota Wuhan, tempat kasus pertama COVID-19 teridentifikasi.
Propaganda ini muncul, saat dunia masih terisolasi akibat pandemi. Saya menyebut ini propaganda, karena Tiongkok sejak awal pandemi memang tidak transparan soal data dan informasi terkait. Andai transparan, masalah pandemi Corona mungkin tak berlarut-larut seperti sekarang.
Â
Jadi, klaim mereka soal penanganan wabah virus Corona tak sepenuhnya bisa dipercaya. Belakangan, kasus infeksi COVID-19 di sana kembali melonjak, dan pemerintah setempat memberlakukan kebijakan lockdown di beberapa daerah.
Kedua turnamen Copa America di Brasil bisa dijadikan Bolsonaro sebagai "panggung kampanye", yang bisa meredam sentimen negatif masyarakat padanya sebagai petahana, jelang pemilihan presiden Brasil tahun depan. Skenario kampanye akan sempurna, jika Neymar dkk kembali berjaya di rumah sendiri.
Bolsonaro, yang dikenal pragmatis seperti Donald Trump, jelas akan coba memanfaatkan situasi semaksimal mungkin. Kebetulan, CONMEBOL juga mencari negara tuan rumah pengganti, yang pemerintahnya siap menjamin kelancaran penyelenggaraan turnamen.
Inilah mengapa, pemerintah Brasil tetap bersikeras menggelar Copa America di negeri sendiri, di tengah berbagai keberatan dan masalah domestik yang ada. Satu contoh aktual dan terang-terangan, dari upaya politisasi sepak bola skala internasional.
Mungkin, inilah alasan mengapa sepak bola terlihat begitu seksi, khususnya di negara gila bola seperti Brasil. Karena, di negara seperti ini, sepak bola adalah hiburan rakyat, dan sebuah kemenangan bisa menjadi pelipur lara di tengah masalah, sekaligus tunggangan bagi mereka yang ingin berkuasa.
Terlepas dari cerita sumir yang mengiringinya, semoga Copa America yang akan berlangsung mulai pertengahan bulan ini tetap dapat dinikmati pecinta sepak bola.