Mohon tunggu...
KOMENTAR
Diary Pilihan

Balada Lebaran dan Pagebluk

13 Mei 2021   19:54 Diperbarui: 13 Mei 2021   19:56 288 3
Dear Diary,

Ini periode lebaran kedua di masa pagebluk. Situasinya belum benar-benar aman, karena pagebluk masih belum bisa dijinakkan.

Tapi, ada satu rasa jengkel yang sama di dua momen ini, meski situasinya agak berbeda. Tahun lalu, aku memilih bertahan sendirian di ibukota, karena tak kebagian tiket kereta sejak bulan Februari.

Di satu sisi, aku bersyukur karenanya. Aku ingat, gara-gara pagebluk, semua perjalanan dengan kereta api dibatalkan.

Semua orang kerepotan mengurusnya, termasuk penjaga kost ku. Dia harus repot-repot antri di stasiun sepanjang hari, selama beberapa hari beruntun.

Untuk pertama kalinya, lebaran terasa begitu tenang. Ketenangan itu semakin menyenangkan, karena ada seporsi besar lontong sayur dari pemilik kost, yang kujadikan menu makan selama sehari penuh. Momen sederhana yang begitu berharga.

Bagiku, ini berkat, yang sayangnya sekaligus jadi masalah. Orang tuaku menganggap keputusanku waktu itu sangat tak masuk akal, dan menganggap pagebluk sebagai alasan belaka.

Tentu saja aku jengkel, bahkan sangat tersinggung karenanya. Mereka sama sekali tak membantu, malah hanya menyudutkan, tanpa paham bagaimana situasi. Memalukan sekali.

Tahun berikutnya, saat aku sudah kembali, ternyata pagebluk masih belum jelas akhirnya. Di beberapa negara, kasusnya bahkan makin menggila.

Saat pemerintah memutuskan "dilarang mudik jauh maupun dekat", semua sudah jelas. Duduk manis di rumah, jangan kemana-mana, sama seperti tahun lalu.

Tapi, entah kenapa, orang tuaku malah bersikeras mengajak pergi ke desa. Aku enggan ikut, walau akhirnya terpaksa ikut juga, demi menghindari konflik tak penting.

Padahal, walau hanya antar kabupaten, mudik tetaplah mudik. Ironisnya, mereka malah mengkritisi orang-orang yang nekad mudik walau sudah dilarang.

Kadang, aku bingung dengan tradisi satu ini, terutama sejak umur makin bertambah. Ada perbandingan status pekerjaan, perkawinan, dan hal-hal personal lain. Semuanya tertata rapi, persis racikan Krabby Patty buatan Si Celana Kotak.

Dalam keadaan biasa, lebaran tatap muka dengan komparasi ini-itu memang wajar. Dalam bungkus "menanyakan kabar", semua akan mengalir begitu saja.

Bagaimana dengan lebaran di masa pagebluk?

Mungkin, daya pukul metode membandingkan akan melempem jika lebaran itu diadakan secara virtual.
Matikan volume, habis perkara.
Apapun yang mereka bilang, aku tak peduli, walau mereka bicara sampai berbusa-busa.

Jadi, jangan heran kalau setelah setahun, pagebluk ini masih begitu-begitu saja. Seperti sedang jalan di tempat.

Aku tak kaget, saat hal yang sedang dilarang ini tetap dilakukan. Di negara berbunga ini, aturan memang dibuat untuk dilanggar. Aku hanya merasa tersinggung, karena upayaku untuk bertindak "aman" seperti diejek.

Andai aku bisa mendapat kesempatan pergi sekali lagi, aku akan melewatkan momen rutin ini, demi kesehatan jiwa.

Pagebluk dan lebaran memang bukan pasangan ideal. Mereka pasangan paling menyebalkan yang Tuhan boleh hadirkan.

Walau begitu, aku masih bersyukur, karena pasangan menyebalkan ini boleh hadir. Berkat mereka, semua jadi terang benderang: siapa yang mau menahan diri dan tidak serta siapa yang tertib dan tidak.

Untuk saat ini, aku hanya bisa berharap, semoga pasangan menyebalkan ini tidak awet, karena ada begitu banyak orang yang ingin kembali hidup sebagaimana mestinya.

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun