April sudah menyapa di ambang pintu, bersama kekosongan nan menderu. Sudah sebulan sejak aku mulai sedikit membantu di rumah, dan (semoga bisa) mendatangkan sedikit dampak positif.
Semua baru mulai berjalan, jadi aku tak mau terlalu muluk. Aku sadar, tak boleh asal tancap gas, supaya nanti tak kehabisan nafas terlalu cepat.
Tapi, aku merasakan, ada kemunduran demi kemunduran di sini. Rasa nyaman pergi berlibur entah kemana, bersama kebingungan yang merajalela di tengah pagebluk.
Bangun pagi dan kesibukan menjelma jadi sebentuk arogansi, padahal itu bukan satu keniscayaan. Buat apa bangun pagi, jika itu jadi sumber kesombongan? Buat apa terlihat sibuk jika tujuannya hanya ingin dilihat orang?
Dikte demi dikte merecoki, sampai hal paling sepele. Lebih jauh lagi, satu cara berpikir ekstrem masih saja membayangi. Padahal, ini terbukti membuatku kesulitan saat membaur di luar.
Belum lagi, ada satu komunitas doa yang mulai gemar mendikte, dalam daftar rutinitas yang sedikit absurd. Aku sedikit kehilangan respek pada mereka, karena mereka berbeda dengan komunitas doa yang menemaniku sejak di ibukota.
Teman-teman di ibukota benar-benar dewasa, karena sangat menghormati privasi, dan benar-benar menjadi "support system" pada saat paling sulit sekalipun. Ada aktivitas, tapi tak ada dikte di sana-sini, karena mereka memang menjadi satu komunitas, seperti yang dikatakan sejak awal.
Aku memang punya gayaku sendiri, yang terbukti ampuh selama bertahun-tahun. Aku juga punya selera sendiri, yang mempertegas inilah diriku. Sayang, ini dianggap aneh, karena tak sejalan dengan semua dikte itu.
Bukannya aku membangkang. Aku hanya memilih untuk tetap waras. Apa salah beda selera? Apa salah jadi diri sendiri?
Kini, aku masih merasakan kekecewaan bercampur sesal karena harus pulang. Apa yang sudah kulakukan di perantauan seperti tak ada gunanya.
Mereka nyaris tak pernah membantu, karena aku bisa melakukan nyaris semuanya sendirian. Aku juga bukan anak manja, yang bisa dengan enaknya minta dikirimi uang.
Di saat paling sulit, mereka hanya memintaku pulang, tapi aku memilih bertahan, dan akhirnya berhak mendapatkan pampasan perang.
Aku ingat betul, mereka memintaku pulang dengan nada panik. Alasannya, ini sedang kondisi sulit, sebaiknya mundur teratur.
Tapi aku sadar, ini perintah yang tidak untuk dituruti begitu saja. Mundur pun tetap perlu strategi supaya aman, syukur-syukur bisa mencuri kemenangan. Minimal, tak mati konyol karena kelaparan atau kena tembak.
Entah lempar granat, pasang ranjau, bumi hangus, semua bisa dilakukan, selama dilihat dengan benar.
Aku ingat, keputusan bertahan sebelum akhirnya pulang sempat dikritik habis-habisan, karena terlihat ceroboh. Aku tak peduli, karena mereka tak pernah membantu, hanya meminta pulang, sekaligus memberi jalan buntu.
Meski saldo minus selama tujuh bulan beruntun, pada akhirnya aku bisa mendapatkan saldo plus untuk lima belas bulan. Jadi, aku mundur dengan membawa pulang oleh-oleh kemenangan.
Andai aku menurut saja, situasi pasti akan lebih buruk. Tak ada yang bisa dilakukan, karena aku tetap saja jadi kambing gosong.
Saat mereka menyadari itu, mereka hanya bisa terdiam. Aku paham, mereka memang seperti itu sejak dulu. Jadi, diam adalah satu bentuk pujian.
Sayangnya, aku kembali ke lingkungan penuh dikte dan suara gaduh. Bicara salah, diam apalagi. Inilah yang akhirnya membuatku memilih diam, dan kehilangan gairah untuk bangun pagi.
Aku tak akan jengkel, jika mereka mau mengerti, kenapa aku memilih diam, kehilangan gairah untuk bangun pagi dan terlihat sibuk.
Andai aku masih bertahan di ibukota, situasinya mungkin sulit, tapi aku tak akan merasa kehilangan seberat ini.
Belakangan, mereka mendorongku untuk mencoba tes abdi negara. Ini jelas membuatku jengkel, karena rasanya seperti diusir setelah diminta pulang.
Menyakitkan. Semoga ini buka lelucon April mop.
Andai tubuh ini normal, aku akan langsung terjun tanpa persiapan. Aku sadar, di negeri berbunga ini, diskriminasi adalah sajian rutin bagi orang sepertiku.
Aku sudah kenyang mengalaminya sejak masa sekolah. Jadi, aku perlu sedikit persiapan. Seandainya jadi, aku berharap, tak ada larangan pergi dengan alasan apapun, karena itu tugas negara.
Seandainya tidak, aku masih ingin membantu, karena ada sebentuk warisan mimpi, yang ingin coba kuperjuangkan. Tentunya, dengan caraku sendiri.
Aku paham, rasa ini lebih pahit dari kopi, teman pengantar tidurku akhir-akhir ini. Semoga, ini bisa kulalui, seperti pada masa-masa sulit sebelum aku pergi ke ibukota.
Seandainya aku harus bertahan, semoga ini memang yang terbaik buat semua, begitupun sebaliknya. Setidaknya, berikanlah aku waktu, untuk menghadapi mimpi buruk ini sampai tuntas.