Ada juga yang putus harapan, karena berkali-kali kena "ghosting" saat melamar kerja, setelah sebelumnya kena PHK massal.
Hatiku sendiri hancur, karena selama aku pergi, mereka tetap banyak mendikte dan mengirim "racun". Entah kepanikan, entah pandangan politik yang sebenarnya enggan aku bahas, atau urusan lainnya. Aku enggan berkomentar banyak, karena sebenarnya itu bukan urusanku.
Kalaupun ada yang membuatku yakin untuk pulang, itu karena opa datang dan memberikan pesan dalam mimpi.
Aku ingat, waktu itu opa datang dan memberiku sepiring dodol. Rasanya familiar dan enak sekali. Mungkin, inilah resep yang konon "enak" itu.
Memang, segera setelah pulang, aku  sempat mendapat magang di sebuah toko, tapi akhirnya aku memilih pergi, karena situasi dan kondisinya memang menyarankan demikian.
Tapi, ketika aku benar-benar pulang ke rumah, aku merasakan rasa getir itu lagi. Dikte demi dikte datang, bersama kurangnya toleransi atas perbedaan selera.
Tidak ada protes yang boleh terucap tuntas, karena konon katanya itu tidak bermutu. Tidak ada ketenangan, kecuali aku sedang pergi, atau puncak malam sedang hadir.
Aku masih ingat, mereka menyalahpahami keputusanku untuk bertahan sampai akhir tahun kembar di ibukota. Ada kata "ceroboh" dan sebangsanya yang merundungku, sebelum akhirnya aku balik bertanya,
"Memangnya, kalau aku pulang, apa yang akan dan bisa aku lakukan?"
Untuk beberapa saat, mereka terdiam, dan saat menjawab, tak ada satu hal kongkrit pun yang mereka bisa bicarakan, semuanya abstrak.
Itu terjadi sampai opa datang ke mimpiku, dan membawaku mengingat sejenak masa kecil, dalam rasa manis yang kusukai.
Saat aku akhirnya pulang, dan mendapat jaminan pemasukan rutin sepanjang tahun, dari tunggakan gaji di kantor, mereka hanya diam, dan kadang masih mempertanyakan keputusanku waktu itu. Seolah apa yang sudah kulakukan tak ada gunanya.
Mereka lebih suka didengar daripada mendengar, dan nyaris tak pernah menempatkan diri di posisi setara. Apa boleh buat, diam jadi satu-satunya pilihan.
Menyakitkan.
Aku berharap ini hanya sebuah mimpi buruk, walau kenyataannya memang bukan mimpi.
Oke, aku menghadapi lagi racun ini secara langsung. Apa cukup sampai disitu?
Ternyata tidak.
Ada komunitas doa, yang datang secara virtual dan ikut mengisi waktuku. Mereka berpusat di Kota Bengawan. Awalnya menyenangkan, karena mereka tidak mengikat secara berlebihan, tapi, waktu menunjukkan, mereka mulai coba mengikat dan mendikteku.
Ketidakhadiran bisa dilihat sebagai satu kesalahan, dan mereka jadi mulai coba ikut campur, pada apa yang sebenarnya bukan urusan mereka.
Mengerikan.
Jujur, aku kadang masih menyesal, karena keputusan untuk pulang hanya mengundang racun, walau tetap ada sisi menyenangkan yang kudapat.
Penyesalan ini kusadari, dari seringnya aku lupa menenggak kopi. Sebenarnya aku tak peduli ini arabika atau robusta. Apapun jenis dan cara pengolahannya, kopi selalu bisa jadi teman yang baik saat hati menjerit.
Sayang, fanatisme dengan dikte kadang membuat ini jadi menjengkelkan. Tak ada ruang untuk perbedaan selera dan pendapat, padahal mereka biasa menggembar-gemborkan kata toleransi.
Ini bukan toleransi, tapi telorasin.
Andai tak ada pagebluk dan isyarat dari opa, aku mungkin tak akan pulang dan bertemu sepasang racun ini. Tapi, inilah yang harus kuhadapi sekarang.
Aku tak bisa dengan enaknya berharap mimpi buruk ini segera berlalu, seperti harapan orang-orang pada pagebluk sialan ini.
Aku hanya berharap, aku bisa melakukan seperti apa yang diisyaratkan opa, dan kalau nanti memang harus pergi, aku bisa mengenyahkan kedua racun ini.
Karena aku hanya ingin hidup.