Sudah hampir dua bulan aku di sini, Â dalam status "percobaan". Tapi, tekanan di sini terasa aneh. Apalagi, saat aku mulai berada dalam status pengawasan sepanjang minggu ini. Seperti gunung berapi saja.
Penyebabnya, aku dianggap tidak signifikan, dan kurang berkontribusi, karena tidak mampu mendatangkan peningkatan dalam sekejap.
Ya, sejak vonis "tidak signifikan" itu datang, ada rasa bingung yang makin menjadi, karena ada salah kaprah di sini.
Di satu sisi, aku diminta bermain konten media sosial, untuk menaikkan traffic nya, sambil membenahi toko online, juga blog yang mati suri, dan coba menghidupkannya.
Tapi, di sisi lain, aku beberapa kali mendapati, posting yang kubuat dihapus, entah karena dianggap "jelek" atau yang lainnya. Padahal, ini buruk untuk traffic.
Untuk blog, aku harus membenahi dulu semua, sebelum membuatnya naik. Jelas, semua proses ini butuh waktu tidak sebentar.
Apa boleh buat, aku pun mati langkah. Apa yang bisa kulakukan? Rasanya membingungkan.
Soal toko online, aku sudah coba berusaha melakukan yang bisa dilakukan. Toko itu dulunya ada, tapi mati suri. Akhirnya, aku membuat lagi, dengan salah satunya terverifikasi supaya aman.
Aku sadar, ini butuh bantuan tenaga ahli, dan proses yang tidak sebentar. Saat aku mendapatkan dan menggandengnya, aku malah kena damprat.
Padahal, aku hanya coba membuat semua lebih terstruktur. Ada pembagian tugas yang jelas dan lebih fokus. Jadi, tak ada kekacauan di sini, dan semua bisa seiring sejalan.
Tapi, pola pikir instan yang ada membuat semua jadi membingungkan. Mentang-mentang aku pernah bekerja di ibukota, aku dianggap bisa segalanya dan menyulap semua jadi emas dalam sekejap. Yang benar saja!
Aku tak tahu apa yang dipikirkannya, dan apa yang dipahaminya soal ini. Tapi, status dalam pengawasan, yang membuatku berada di kursi panas ini sudah mempertegas seberapa parah kebingungan, dari situasi serba membingungkan ini.
Jika nanti aku dianggap gagal dan akhirnya harus pergi, aku rela pergi. Dengan syarat, aku bebas dari semua hal-hal terkait pekerjaan. Toh aku hanya dipandang sebagai seorang pecundang.
Bukankah ada begitu banyak orang hebat di luar sana?
Dear Diary,
Ini pengalaman pahit keduaku di Kota Gudeg, dalam posisi sebagai pekerja. Mungkin, ini alasan kenapa aku kadang masih kangen ibukota.
Benar kata orang, setiap kota punya porsinya sendiri: yang hebat dalam hal wisata, belum tentu baik dalam hal budaya kerja, meski yang punya budaya kerja bagus belum tentu punya lingkungan yang sehat.
Ini normal, sangat normal. Tak ada tempat yang benar-benar sempurna.
Jika nanti memang berakhir begini, aku tak akan dendam, karena memang keputusan ini diambil dengan pemahaman yang belum utuh, untuk hal serumit ini.
Andai masih dapat kesempatan jadi pekerja kantoran di Kota Pelajar ini, aku akan menjadikan ini pengalaman penting. Andai harus kembali pergi, aku hanya akan kembali, jika kesempatan itu wajar.
Basta!