Mohon tunggu...
KOMENTAR
Hobby Pilihan

Menulis, Sebuah Sweet Karma

10 Februari 2021   22:22 Diperbarui: 10 Februari 2021   22:29 189 9
Bicara soal sweet karma, setiap orang pasti pernah atau mungkin sedang mengalaminya. Tentunya, dengan masalah dan cerita masing-masing.

Kebetulan, saya pernah dan sedang mengalami sweet karma dalam hal menulis. Disebut pernah, karena saya pernah mengalami hal-hal pahit dalam kaitannya dengan menulis.

Mulai dari pernah tidak naik kelas karena bisa membaca, tapi tak bisa menulis dengan lancar sewaktu kecil, dikatai guru saat masih remaja (saat beliau mengajar di kelas lain), sampai pernah hampir berdebat dengan dosen karena masalah menulis jawaban.

Semua pengalaman pahit itu hadir, karena kelainan syaraf motorik bawaan yang saya punya. Jujur saja, menulis adalah kegiatan yang cukup menguras tenaga. Apalagi, jika harus "mengimbangi" kecepatan menulis mereka yang normal secara fisik.

Semua itu membuat saya tak ingin terlalu banyak berurusan dengan tulis-menulis. Oke, semua pengalaman pahit itu turut membantu membuat saya jadi lebih "bandel" (dalam artian positif), tapi cukup sampai disitu.

Pertanyaannya, benarkah demikian?

Ternyata tidak.

Setelah tahun demi tahun berlalu, dan saya lulus kuliah, menulis justru jadi hal pertama yang menerima saya apa adanya, di saat penolakan demi penolakan akibat alasan fisik datang silih berganti.

Tak seperti sebelumnya, kali ini,  menulis justru memberi saya banyak hal baik, seperti pengalaman dan relasi. Lewat menulis juga, saya bisa mendapat modal merantau ke ibukota, dan punya ruang bebas berekspresi jadi diri sendiri.

Tak cukup sampai disitu, saat akhirnya harus kembali ke Yogyakarta akibat imbas pandemi Corona, saya masih saja mendapat hadiah lain dari menulis.

Kali ini, menulis jadi sarana bersenang-senang. Dalam artian, saya bisa melepas stres, dan "menemukan diri", salah satunya lewat acara komunitas blogger, di tengah rutinitas kerja yang nyaris tanpa jeda.

Mungkin, ini terlihat seperti sepaket ironi ketimbang sweet karma. Saya sebut demikian, karena saya justru menemukan hal-hal baik dari menulis, setelah sebelumnya berkali-kali mendapat hal buruk, sampai ingin melupakannya.

Memang, menulis belum pernah sampai memberi saya penghargaan prestisius atau sejenisnya. Saya memang tidak mengharap dapat penghargaan. Karena, ini memang bukan tujuan utama saya menulis sejak awal. Dapat ya syukur, tidak ya sudah. Masih banyak orang yang jauh lebih layak mendapatkan.

Pada akhirnya, lewat menulis, saya jadi belajar satu hal: pengalaman buruk bisa menjadi satu cara membentuk diri seseorang menjadi lebih baik, yang jika mampu dilalui, dapat mendatangkan hal-hal baik setelahnya.

Ini terlihat kontradiktif, layaknya simbol yin dan yang. Tapi, inilah alasan karma hadir, bukan hanya sebagai sumpah serapah, tapi sebagai penyeimbang. Karma sendiri pada dasarnya memang ada, supaya keseimbangan dalam kehidupan dapat tetap terjaga.

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun