Mohon tunggu...
KOMENTAR
Diary Pilihan

Di Antara Dua Kepala

6 Februari 2021   04:47 Diperbarui: 6 Februari 2021   05:20 136 5
Dear Diary,

Sudah sebulan lebih sejak aku mulai hadir di sana. Meski awalnya sempat limbung karena harus kembali beradaptasi, setelah hampir setahun terakhir tak pernah bekerja di kantor akibat pagebluk, aku mulai terbiasa dengan rutinitas dan ritme yang ada.

Bangun pagi, bekerja seharian, dan istirahat di malam hari. Setidaknya, ini membuat tubuhku bisa lebih aktif.

Oke, lingkungan di sana terlihat cukup menyenangkan. Ada kebersamaan dalam perbedaan, dan cukup ruang untuk saling berbagi.

Tapi, bukan berarti semua tanpa masalah. Aku seperti naik pesawat dengan dua pilot, karena ada dua kokpit di sini.

Jujur, ini kadang membingungkan. Meski sebenarnya sama-sama punya kontrol, ada perintah yang kadang tumpang tindih.

Kadang, ini jauh lebih membingungkan dari apa yang pernah kujalani di ibukota. Tugas-tugas yang kujalani cukup beragam, sehingga aku seperti punya rangkap jabatan.

Mungkin, banyak orang berharap bisa punya rangkap jabatan, tapi aku tidak. Apa yang kualami di sini seolah berkata.

"Rangkap jabatan hanya kenikmatan milik orang kaya atau elit politik, tapi bisa jadi penderitaan bagi pekerja biasa."

Karenanya, aku tak kaget, saat melihat ada begitu banyak orang yang silau. Mulai dari pejabat tinggi sampai rendah, ada saja kasus rangkap jabatan.

Kadang satu rangkap, bahkan sampai sepuluh rangkap. Seperti mau naik gunung saja.

Bukan cuma pejabat, pebisnis betulan, dan mereka yang merasa dirinya pebisnis ada juga doyan merangkap, tapi malu merangkak dari bawah.

Memang, ini ada di semua level. Mulai dari kelas ikan paus sampai abal-abal, ada saja nama jabatan dengan istilah keriting, yang bisa membuat lidah siapapun menari Tango, Samba atau salsa.

Sebagian dari mereka menjadikan ini sebagai obsesi, hanya karena ingin diakui orang banyak. Hidup mereka seolah sia-sia, jika tak mendapat pengakuan.

Selain pengakuan, para elit tersebut juga akan bisa mendapat pemasukan ekstra. Ini sesuatu yang begitu didamba pada masa pagebluk, masa dimana pemasukan begitu seret, akibat pemotongan di sana-sini.

Bagi para pekerja biasa, rangkap jabatan tak selalu jadi hal baik. Apalagi, di masa pagebluk ini. Andai mereka pekerja borongan dengan upah harian, mungkin ini akan sangat membantu.

Tapi, bagaimana jika mereka adalah pekerja biasa dengan upah bulanan?

Ngilu rasanya. Terutama, jika tak ada hitam di atas putih.

Ini adalah satu taktik penghematan, meski kadang terasa seperti pemerasan. Seperti seorang bek saat bertahan, rupa-rupa pelanggaran bisa dilakukan, tanpa ada teguran apalagi hadiah kartu dari wasit. Ada bonus, meski berupa iming-iming, layaknya umpan ikan di tempat pemancingan.

Andai si pekerja keluar mendadak, mereka bisa saja merasa jadi "korban", seperti taktik andalan seorang politisi berwajah mirip Pak Nobisuke Nobi, ayah Nobita Nobi, si sohib kental kucing mekanik berwarna biru.

Tapi, apa yang bisa diandalkan dari setumpuk lisan?

Inilah alasan kenapa aku kadang masih merindukan ibukota. Tempat yang keras buat pekerja, tapi masih sportif, dan memberi cukup ruang untuk pengembangan diri, apapun bentuknya.

Aku tak silau dengan bonus, karena aku tahu situasinya. Bagaimana mungkin mobil yang sudah harus ganti oli dan mesin ikut balapan melawan jet darat?

Andai takdir kelak menuntun langkah ini menjadi orang lepas, aku tak ingin memberi diri ini label dengan istilah keriting, apapun sebutannya. Karena aku hanya ingin jadi diri sendiri.

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun