Mohon tunggu...
KOMENTAR
Diary Pilihan

Di Antara Dua Rumah

21 Januari 2021   20:56 Diperbarui: 21 Januari 2021   21:12 162 8
Dear Diary,

Aku belum begitu lama kembali ke sini. Tapi, aku masih punya satu kegiatan warisan sejak masa awal di ibukota: komunitas doa.

Meski dilakukan secara virtual sejak pagebluk datang, itu cukup menyenangkan, karena aku jadi punya kehidupan lain di hari kerja. Satu hal yang belakangan jadi barang langka sejak aku kembali.

Ada dua komunitas, yang aku ikuti. Satu adalah komunitas gereja berpusat di ibukota, satu lagi berasal dari gereja di Kota Bengawan, yang menjadi satu cabang dari gereja induk di Kota Pahlawan.

Keduanya sama-sama berawal dari ajakan teman, meski sama-sama serasa seperti di rumah sendiri, aku melihat rasa berbeda dari keduanya.

Rasa pertama datang dari kelompok di ibukota. Sejak pagebluk, mereka datang tiap dua minggu sekali, dengan pertimbangan, supaya tak ada rasa jenuh, karena di sana hal ini sudah jadi masalah di kebanyakan komunitas sejenis.

Meski intensitas kegiatannya tak terlalu tinggi, aku sangat respek kepada mereka, karena mereka membangun kesadaran sebagai fondasi ikatan. Mereka juga memberi cukup ruang untuk kehidupan pribadi masing-masing.

Tak semua harus diceritakan, karena kadang ada yang tak siap bercerita. Aku respek karena mereka mau memahami itu, sama baiknya seperti saat mereka sedang bercanda.

Saat ada yang tak hadir pun, mereka tak akan bertanya terlalu jauh, karena sungguh memahami keadaan.

Aku sendiri akan selamanya berterima kasih kepada mereka, karena mereka jadi satu dari sedikit pihak, yang banyak membantuku beradaptasi di ibukota. Saat pagebluk saja, mereka juga membantuku dalam banyak hal, mulai dari sesekali mengirimkan makan, sampai turut mencarikan kerja.

Entah apa jadinya kalau mereka tak ada. Itulah yang berkali-kali kukatakan kepada diri sendiri dan mereka. Kami sudah seperti keluarga, karena bisa berbagi rasa dan saling mendengarkan dengan sangat baik.

Rata-rata dari mereka adalah orang dengan jabatan, pengalaman, dan penghasilan lebih dari cukup. Tapi, mereka mau menerima bocah minim pengalaman dan bergaji pas-pasan ini dengan tangan terbuka.

Dari mereka aku banyak melihat, ibukota adalah tempat yang sangat realistis. Ini tak seperti mitos yang selama ini beredar.

Mereka pun bisa memahami, kenapa aku ingin kembali ke sana suatu hari nanti. Luar biasa.

Suasana agak berbeda kutemukan di kelompok kedua. Meski berakar dari budaya yang nyaris sama denganku, ada sedikit kejutan yang kurasakan.

Tak seperti kelompok pertama, kelompok kedua ini biasa menambahkan rutinitas lain yang biasanya tak pernah kuikuti. Bukan karena malas, tapi karena aku ingin memberi nafas buat diri sendiri, supaya tak tumbang lagi karena kelelahan.

Jujur saja, aku masih harus berusaha keras membuat tubuhku kuat menjalani rutinitas di sini. Apalagi, ada pagebluk yang masih belum reda.

Dengan intensitas kesibukan  cukup tinggi, ambil risiko dengan mengikuti itu secara rutin, hanya akan menggali kubur sendiri.

Jelas, aku hanya perlu memastikan tubuh dan hati tetap waras. Secara khusus, aku ingin mengobati luka di hati, yang terlihat parah, karena kepulangan ini masih menyisakan rasa sakit, yang butuh waktu untuk benar-benar sembuh.

Dari kedua kelompok ini, aku memang serasa punya keluarga yang hangat. Tapi, pada akhirnya aku tetap rindu datang langsung ke "rumah" itu, dan bernyanyi dengan penuh semangat seperti biasa, saat semua sudah berakhir, karena disanalah kata "pulang" layak tersemat, meski diri ini bukan siapa-siapa.

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun