Mohon tunggu...
KOMENTAR
Diary Pilihan

Dear Diary

12 Januari 2021   06:11 Diperbarui: 12 Januari 2021   06:18 872 11
Bukan, ini bukan alunan lagu band Mocca yang mendayu itu. Inilah suara hatiku, setelah tak ada orang yang bisa kuajak bicara satu lawan satu.

Semua sibuk dengan urusan pribadinya, pekerjaan, dan pasangannya. Jadi, aku hanya bisa bercerita kepadamu di sini, karena aku bingung harus bercerita ke siapa.

Sudah hampir sebulan sejak aku dipaksa pulang karena pagebluk ini, setelah sempat melalui perdebatan seperti di neraka. Aku masih ingat, seberapa menjengkelkan situasi itu, ditambah lagi, tak ada jaminan kalau aku punya kejelasan nasib lebih baik dari sebelumnya.

Satu hal yang paling aku benci di sana, adalah jika aku jadi pekerja lepas, tapi dapat gunjingan di belakang, karena terlihat seperti pengangguran. Mengenaskan.

Benar, pada akhirnya aku memang dapat pekerjaan tetap di sini. Aku bersyukur untuk ini, tapi aku benci kenyataan yang mulai muncul, dari keputusan ini.

Hatiku terasa sakit karena banyak hal akibat efek pagebluk sialan ini. Ada tunggakan gaji yang belum jelas juntrungannya, perasaan tercampakkan, hidup yang nyaris tanpa jeda, dan sikap kelewat egois orangtua.

Semakin ke sini, aku semakin menyadari, pulang adalah keputusan paling menyakitkan. Memang ada jeda sejenak sebelum aku mulai, tapi ada dikte yang terus merecoki. Ditambah lagi, ada cara pandang kelewat fanatik soal politik, yang membuatku mual.

Selama ini, aku hanya merasa perlu untuk "cukup tahu dan diam saja" soal topik satu itu. Aku rakyat jelata yang kadang terlupakan karena kondisi tubuhku. Itu saja.

O ya, belakangan hatiku sering menangis, karena pulang hanyalah keputusan yang menyenangkan satu pihak. Pikiran ini tidak sepenuhnya damai karena ada dikte di sana-sini, perasaan tersinggung karena diremehkan, dan entah apa lagi.

Aku dulu pernah sangat bersyukur, karena pergi pernah jadi keputusan paling hebat. Biarpun harus berhemat, aku bebas dari jeratan dikte dan pertanyaan tanpa ujung. Aku juga dapat banyak hal yang tak kudapat di rumah.

Aku sangat senang, karena diriku bisa berkembang bebas di sana. Ada ruang cukup untuk kehidupan pribadi, dan waktu untuk benar-benar istirahat. Bahkan, aku bisa pergi ke psikolog, tanpa ada penghakiman apapun dari mereka, yang merasa tahu segalanya.

Di sini, semua hal itu nyaris hilang total. Nyaris tak ada ruang cukup untuk pengembangan diri dan istirahat. Kalau tanggal merah juga ditabrak, aku rasa ini tak mengejutkan.

Di tempat wisata yang katanya sangat berbudaya ini, bekerja hanya kenikmatan milik orang kaya. Budaya dijual dan ditampilkan bersama romantisasi, tapi lenyap saat seharusnya diterapkan di kehidupan nyata. Keindahan itu bukan milik semua Kenyamanan hampir jadi mitos, karena jeda nyaris tak ada. Liburan? Lupakan!

Untuk saat ini, aku memang akan bertanggung jawab, tapi perasaan memang tak bisa bohong. Aku rindu kembali ke sana, karena di sana aku benar-benar menemukan rasa utuh sebagai seorang manusia.

Tapi, kalau kesempatan itu ada, aku berharap itu adalah satu hal yang jelas dan pasti. Di umurku sekarang, melompat dari magang ke magang bukan pilihan. Aku terlalu tua untuk itu.

Makanya, aku heran, kenapa orang berkebutuhan khusus sering jadi objek magang. Padahal, mereka juga manusia yang berhak punya pekerjaan tetap.

Aku sadar, rasa sakit ini takkan sembuh hanya dalam semalam. Semoga ini bisa kulewati, sekalipun harus menghadapi semua sendirian lagi. Mungkin, beginilah rasanya jadi seorang Maradona di lapangan hijau. Serba sendirian.

Tapi, jika sendirian adalah jalanku menemukan teman hidup, semoga aku bisa menyadari dan bersyukur untuk semua ini, saat dia akhirnya benar-benar datang.

Dear Diary,

Terima kasih sudah mau menampung isi hatiku di sini. Aku tak akan kaget kalau nanti bertemu denganmu lagi, karena aku tak tahu harus bercerita ke siapa, dalam posisiku sebagai seorang manusia. Berdoa memang sangat penting, tapi bebas berbicara sebagai seorang manusia juga tak kalah penting.

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun