Itulah satu kalimat yang kudengar, dan ikut membawaku pulang ke rumah. Pagebluk dan semua ketidakpastian yang ada di ibukota pada, akhirnya membuatku pulang ke Kota Klasik.
Aku paham, mereka khawatir dengan keadaan, tapi bukan berarti aku mau menuruti begitu saja. Bukannya tidak menurut, aku hanya ingin mendapat kejelasan, apa yang akan kulakukan di sana, dan bagaimana kelanjutannya nanti.
Jujur saja, aku masih belum lupa, bagaimana suasananya. Ada dikte, ada pandangan subjektif yang jelas tak objektif, dan pandangan meremehkan.
Saat aku diminta pulang, bayangan itu sampai terbawa mimpi. Mereka begitu memandang buruk keadaanku, dan menganggap apa yang selama ini sudah kujalani tak ada gunanya.
Mereka masih saja mengagungkan Kota Klasik dan segala kisahnya. Ini memang tempat sarat memori, tapi hanya itu saja. Â Aku tak ingin jadi budak kenangan. Tak ada kemajuan.
Di usia ini, semua hal romantis itu hanya racun. Buat apa dipelihara?
Aku akhirnya pulang, setelah ada satu kesempatan yang cukup baik, kongkrit, dan mengizinkanku mulai setelah tahun baru datang. Aku menyelesaikan dulu semua tugas, sebelum akhirnya pulang dan istirahat total.
Bukannya malas, aku hanya ingin isi baterai sebelum memulai lagi dari awal. Tahun kembar ini sudah terlalu melelahkan luar dalam.
Tapi apa yang terjadi?
Aku mendapat dikte, dikte, dan dikte, pada saat mengisi baterai. Aku diseret kembali ke dalam satu cara pandang yang sudah lama terkungkung dalam suasana Kota Klasik.
Ada juga kemajuan demi kemajuan orang-orang di luar sana, yang membuatku kembali merasa getir. Aku senang untuk mereka, tapi sedih untuk diri sendiri.
Meski sedang pagebluk, mereka bisa melangkah lebih maju, luar biasa. Aku? Dipaksa kembali sejenak ke titik sebelumnya, alias jadi pesakitan. Mengenaskan.
Rasanya, ini seperti kembali ke mimpi buruk. Tinggal di tempat yang konon katanya berbudaya, tapi memandang tubuh, ada dikte di sana-sini, dan pandangan sinis pada perbedaan, seolah paling benar.
Aku paham, mereka punya cara pandang sendiri, tapi orang lain juga punya. Memaksakan hal-hal seperti ini adalah sebuah mimpi buruk bagi yang mendapatkan.
Apalagi, jika semua berjalan hanya satu arah. Hanya mau didengar, tanpa mau ganti mendengar sampai tuntas.
Ini jelas mengerikan. Aku sudah pernah merasakan, seberapa buruk situasi ini. Awalnya, diri ini memang bisa bertahan, tapi saat pertahanan itu jebol, air mata ini tumpah selama berhari-hari, seperti banjir bandang saja.
Jadi pendengar yang tak pernah punya kesempatan didengar, jelas bukan hal baik. Keadaan makin menyakitkan, saat aku akhirnya mendapati, kata-kata itu hanya umpan.
Aku berusaha dijerat untuk tidak lagi pergi, dan itu sangat menyakitkan. Mereka memang menjelaskan semua kalkulasi dari a sampai z, membuatku terlihat seperti bocah melihat sirkus.
Benar, pengalamanku masih kurang dibanding mereka, tapi aku sudah mengalami sendiri situasi aktual, dan bisa bertahan saat sulit. Semua itu kuhadapi sendiri, selagi mereka hanya merecoki dengan dikte, dikte, dan dikte.
Bantuan? Tak ada!
Entah apa yang ada di kepala mereka. Mereka masih berusaha meracuni pikiranku, dengan pemikiran ajaib mereka, bahkan saat jarak sudah sangat berjauhan.
Padahal, cara berpikir mereka sudah terbukti membuatku kesulitan membaur. Karenanya, aku seperti hidup di dua alam berbeda.
Mereka masih menganggap remeh keadaan, dan hampir membuat semuanya kacau, andai aku tak melihat sendiri keadaan, dan mengambil keputusan berbeda, yang terbukti tepat.
Cara mereka meremehkan keadaan, sebenarnya sudah kutegur dengan cara meminta ganti ongkos kereta dan tes kesehatan. Bukan karena pelit, tapi karena harga di lapangan jauh lebih mahal dari perkiraan mereka.
Bukannya sadar, mereka masih begitu saja. Saat kembali, aku merasakan lagi, mimpi buruk yang sempat membuatku banyak bergantung pada kopi hitam tanpa gula. Aku berjumpa lagi dengan rasa terpasung tanpa daya, akibat tubuh masih dipandang.
Kuakui, keputusan untuk pulang jadi satu hal terburuk yang kuambil. Aku memilih mengalah, hanya karena menghindari keributan lebih jauh. Sialnya, aku jadi menderita karenanya.
Aku menyadari, mimpi buruk ini datang dalam wujud lain, karena ada yang harus kukerjakan. Jujur saja, aku masih merindukan ibukota, karena sifat cueknya yang membebaskan, dan membuatku merasa "utuh" sebagai manusia.
Aku tak pernah mempersoalkan masalah biaya hidup mahal di sana. Selama bisa berhemat dan ada yang bisa ditabung, semua terbukti baik-baik saja.