Maklum, Warkop DKI bersemi di era Orde Baru, sebuah era dengan larangan di sana-sini. Tertawa memang masih diperbolehkan, sebelum dilarang, khususnya jika lelucon yang disajikan dinilai "kelewat batas" oleh penguasa. Salah-salah, bisa kena ciduk.
Pada titik ekstrem, "tertawa" di masa Orde Baru bisa saja membuat seseorang "tinggal nama". Sesuatu yang mungkin kelewat horor untuk dibayangkan di era kiwari.
Di era kekinian, tertawa bukan lagi bersinggungan dengan "larangan", tapi "laporan". Tujuan akhirnya memang hotel prodeo juga, tapi ini lebih bersifat personal atau kelompok kecil, bukan "penguasa" seperti dulu.
Benar, di era reformasi, pemerintah memang tak seseram dulu dalam menyikapi urusan satu ini. Keseraman itu malah ditunjukkan kelompok atau orang tertentu.
Entah karena kotak tertawanya sedang dalam proses main tenis atau memang hilang digondol tikus, seperti nasib sembako bansos di dapur, sebuah candaan kadang bisa jadi bahan laporan polisi.
Minimal, jadi bahan debat kusir semalam suntuk, seperti gelaran wayang kulit. Alhasil, pak dalang bisa liburan sebentar bareng Upin dan Ipin. Betul betul betul.
Kalau candaan "bermasalah" itu ada di media sosial, perang komentar atau bully memang sudah jadi pemandangan biasa. Jejak digital itu kejam, jenderal!
Malah, ini jadi satu warna menarik di dunia maya kita, karena komentar warganet kadang jauh lebih menarik dari postingan aslinya.
Di sini, saya menemukan ada banyak komentator berbakat di negara berbunga ini. Meski begitu, secara aneh bin ajaib, profesi komentator di televisi atau media mainstream masih relatif sepi peminat.
Mungkin, mereka memang punya ilmu kesaktian ilmu teleportasi, atau meminjam pintu kemana saja dari kantong ajaib Doraemon.
Kemana perginya para komentator handal dunia maya kita? Coba kita bertanya pada rumput yang bergoyang.
Jika ada titik temu, dan semua paham, sebuah candaan hanya candaan belaka, semua akan baik-baik saja. Malah, keakraban akan lebih kuat.
Kalaupun tidak berkenan, tinggal klik tombol "report" atau "laporkan". Selama ada "report", harusnya tak perlu repot-repot.
Tapi, jika lawan bercanda kita ternyata bersumbu sangat pendek, ujungnya lagi-lagi bui, bahkan ada yang tinggal nama hanya gara-gara bercanda.
Kalau sudah begini, urusannya bisa lebih panjang dari trayek bus jurusan Sabang-Merauke. Berangkat sendirian, pulang bawa pasangan. Cieee...
Sepertinya benar, Indonesia darurat ketawa, karena baper sudah merajalela.
Mungkin, inilah alasan kenapa sensor berlebihan itu tidak baik. Lebih meracuni dibandingkan mantan terindah atau sepiring micin.
Bercanda sedikit baper, bercanda lagi, lapor polisi. Senggol bacok amat. Ironisnya, tontonan sehari-harinya adalah komedi "slapstick" yang cenderung menghina.
Apa-apaan ini?
Cukup Drakor saja yang bikin baper, yang lain jangan. Biarkan aparat fokus memburu tikus berdasi dan memberantas radikalisme, daripada terlalu sibuk menangani kasus terlalu receh seperti ini. Kemaslahatan bersama jauh lebih penting daripada kebaperan segelintir orang.
Situasi ini kadang membuat malu, karena masih banyak orang asing yang menganggap kita ramah, murah senyum, dan sejenisnya. Apa jadinya kalau mereka tahu, Indonesia sedang darurat ketawa?
Mungkin, Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif (Menparekraf) akan diganti presiden tiap sebulan sekali, karena pada masa pandemi dan Indonesia darurat tertawa begini, menarik banyak turis untuk datang adalah sebuah "Mission Impossible", seperti judul film andalan Tom Cruise.
Tunggu, apa jangan-jangan ini memang posisi yang disiapkan presiden untuk dijabat oleh Tom Cruise? Waduh, kalau ada adegan baku hantam bisa kena sensor nih.
Oke, hidup di era kekinian memang tak lepas dari drama. Tapi, bukan berarti kita tidak boleh tertawa barang sejenak, karena kita memang butuh tertawa.
Tapi ingat, Tertawalah Sebelum Tertawa Itu Dilaporkan.