Mohon tunggu...
KOMENTAR
Bahasa Pilihan

Saya, Membaca, dan Menulis

7 Oktober 2020   19:08 Diperbarui: 7 Oktober 2020   21:23 178 8
Bicara soal ngeblog, setiap orang pasti punya cerita masing-masing, khususnya tentang bagaimana proses yang dijalani, termasuk dalam hal menemukan gaya bahasa ideal. Hal itu juga saya alami, dan masih terus saya jalani.

Dari latar belakang pendidikan, saya memang bukan anak bahasa atau sastra. Nilai bahasa Indonesia saya pun tergolong biasa saja, tidak jelek, tapi kurang pantas disebut ekselen.

Jadi, dasar pengetahuan saya benar-benar nol besar, terutama jika dibanding mereka yang jago bahasa, atau punya latar belakang pendidikan linguistik. Istilah keriting macam semantik dan semiotika saja, baru saya dengar pertama kali saat sudah lulus kuliah.

Satu-satunya hal, yang banyak membantu saya di sini adalah kegemaran membaca sejak masih bocah. Jenis bacaannya memang gradual, sesuai umur, meski ada yang saya rasa terlalu cepat atau terlalu lambat.

Misalnya, saya sudah menuntaskan buku novel sejarah Pentalogi Gajah Mada (karya Langit Kresna Hariadi), novel "Anak Bajang Menggiring Angin", dan buku catatan sepak bola (karya Romo Sindhunata) saat masih SMP, juga gemar membaca koran sejak masih SD.

Lucunya, pada saat bersamaan, saya juga masih menggemari cerita komedi, atau manga lawas macam Doraemon dan Kung Fu Boy, di usia yang tak layak disebut remaja.

Pada prosesnya, kegemaran membaca ini ternyata naik tingkat menjadi menulis. Meski berbeda tingkat, dua hal ini sama-sama menyenangkan saat kita menyatu dengannya.

Bedanya, saat membaca, kita hanya perlu menikmati sajian cerita dan menikmatinya sampai tuntas, seperti orang sedang makan.

Sementara itu, menulis jauh lebih kompleks, karena kita dituntut untuk tak hanya memikirkan diri sendiri, tapi juga harus memikirkan, apa rangkaian kata yang kita pakai bisa dipahami pembaca atau tidak, dan apakah diri kita benar-benar ada di tulisan itu atau tidak.

Bagi saya, dua hal ini sangat penting, karena sebagus apapun idenya, percuma jika tak bisa dipahami pembaca. Apalagi, jika tulisan itu ternyata seratus persen plagiat.

Maka, penting bagi saya untuk bisa memastikan, tulisan saya singkat, padat, jelas, dan berkarakter. Secara khusus, "singkat" di sini juga merupakan cara menyiasati kekurangan syaraf motorik bawaan saya.

Saya memang tak bisa mengetik cepat, maka saya harus menyederhanakannya. Setidaknya, ini bisa sedikit mengurangi gap perbedaan antara saya dan mereka dari segi kemampuan motoris.

Proses ini juga menjadi cara menyesuaikan diri paling menyenangkan, karena blog selalu bisa menampilkan isi hati dan pikiran seseorang secara sempurna, meski tubuhnya tak sempurna.

Soal bahasa, saya menjalani semua begitu saja. Awalnya sangat melelahkan, tapi setelah terbiasa, semua akan baik-baik saja. Sama seperti ungkapan "bisa karena terbiasa".

Soal gaya bahasa dan sejenisnya, jelas tak ada yang sama persis. Entah di blog personal, atau platform blog keroyokan seperti Kompasiana.

Sekilas, ini bisa membingungkan, tapi, jika diperhatikan, keberagaman gaya bahasa dalam blogging justru menjadi ciri khas, laiknya sup atau gado-gado. Keberagaman ini menjadi ciri khas, sekaligus kekayaan tersendiri.

Jadi, tak ada yang salah dengan perbedaan ini, karena inilah jati diri penulisnya. Selebihnya, tinggal dibiasakan, supaya bisa semakin berkembang selaras dengan perkembangan dinamika linguistik yang ada..

Lagipula, tanpa adanya beragam sayur dan racikan bumbu, sup dan gado-gado  bukanlah sup dan gado-gado, begitu juga dengan blog dan keberagaman gaya bahasa di dalamnya.

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun