Kebetulan, Blogshop kali ini diisi oleh Mas Nurulloh alias Nurul Uyuy (COO Kompasiana), dengan bintang tamu tiga sesepuh Kompasiana, yakni Pak Katedrajawen (mulai menulis sejak 2009), Opa Tjiptadinata Effendi (mulai menulis sejak 2012), dan Pak Rustian Al Ansori (mulai menulis sejak 2014).
Ketiganya saya sebut "sesepuh", karena sama-sama sudah membuat lebih dari 5000 artikel di Kompasiana. Jadi, mereka rata-rata membuat lebih dari satu artikel sehari.
Sebagai seorang "anak ingusan", perjumpaan dengan para senior kali ini agak spesial, karena biasanya lebih banyak bertemu di kolom komentar atau media sosial, terutama dengan Pak Katedrajawen dan Opa Tjiptadinata.
Kali ini, perjumpaan dengan mereka terasa spesial, karena mereka membagikan kiat dan motivasi menulis. Ternyata, perspektif ketiganya cukup beragam.
Ada yang menjadikan menulis sebagai sebuah kebutuhan. Ada yang menjadikan menulis sebagai sebuah terapi tubuh dan jiwa. Ada juga yang menulis untuk mengejar kepuasan batin.
Jika disatukan, motivasi ketiganya menjadi satu perspektif holistik, yang bisa dijadikan satu kesimpulan, tentang tujuan utama dari menulis secara konsisten.
Bukan sebagai ajang aktualisasi diri atau mengejar penghargaan semata, tapi lebih dari itu, karena menulis adalah sarana pemenuhan kebutuhan batin, dalam hal ini kebutuhan untuk mengutarakan isi hati dan pikiran sebebas mungkin secara bertanggung jawab.
Sederhananya, siapa yang mau dan menjaga komitmen untuk tetap menulis itu bagus, sementara apresiasi hanyalah bonus, bukan sebaliknya. Inilah kunci awet dalam menulis menurut ketiganya.
Bagi saya, memang pengalaman ketiganya cukup relevan. Meski awalnya mulai menulis secara tidak sengaja, pada prosesnya, saya sendiri mendapati, menulis menjadi satu "terapi depresi" yang sangat ampuh, karena mampu membuat pikiran bergerak bebas, meski kondisi tubuh serba terbatas.
Di sini, menulis menjadi satu-satunya hal, dimana kekurangan fisik saya menjadi sama sekali tak penting. Khususnya, Â saat penolakan dan masalah akibat masalah fisik datang silih berganti.
Karena, tulisan tidak melihat tubuh, tapi menampilkan suara hati secara utuh lewat tulisan. Inilah yang membuat saya menikmati menulis sebagai satu hobi sekaligus kebutuhan. Ini terus meningkat dan berjalan begitu saja.
Jadi bukan kejutan kalau nanti ini akan naik tingkat, entah menjadi pekerjaan utama atau yang lainnya. Dari "kesenangan" menjadi sebuah "manfaat" atau yang lain, sepertinya menarik.
Tapi, setiap orang pasti punya cerita sendiri-sendiri yang sama-sama unik. Apa yang saya alami ini hanya satu dari sekian banyak cerita yang ada.
Saya sendiri mengakui, menulis sudah memberi saya nyali lebih untuk berpendapat. Apapun topiknya, selama saya bebas menjadi diri saya sendiri, rasanya sangat menyenangkan. Melegakan.
Pada awalnya, saya memang memulai perjalanan menulis di Kompasiana, dengan satu topik spesifik, yakni sepak bola. Tapi, pelan-pelan itu melebar ke berbagai topik, seperti humaniora, politik, fiksi, dan lain-lain.
Mungkin terdengar aneh, tidak konsisten, tapi seiring berjalannya waktu, saya sendiri akhirnya merasakan, menulis adalah ruang pemenuhan hasrat berekspresi paling keren, karena ia mengharuskan setiap orang menjadi dirinya sendiri secara bertanggung jawab.
Apapun topiknya, selama itu bisa memenuhi kebutuhan dasar untuk bebas berekspresi, seharusnya itu bukan masalah. Topik hanya satu alat bantu untuk memberikan spesifikasi.
Ide bisa datang dari mana saja, dan bisa diolah menjadi tulisan apa saja, tapi, apapun hasilnya, jangan lupa untuk bertanggung jawab, dan tetap jadi diri sendiri. Karena, kita adalah apa yang kita tulis.