Mohon tunggu...
KOMENTAR
Pendidikan Pilihan

Ospek Virtual, Kok Rasa Kolonial?

16 September 2020   23:02 Diperbarui: 17 September 2020   00:04 272 4
Judul di atas, adalah satu pertanyaan yang muncul, setelah viralnya video "aksi bentak-bentak" kepada mahasiswa baru, yang dilakukan oleh oknum senior, pada momen ospek virtual di sebuah kampus.

Tentunya, ini agak aneh, karena gaya perpeloncoan seperti ini masih saja hidup, meski tidak ada tatap muka secara langsung, akibat imbas pandemi COVID-19 yang masih belum reda.

Masalahnya, bagian paling menjengkelkan dari model ospek seperti ini adalah budaya negatifnya, yang dalam hal ini menunjukkan senioritas, tapi dari sisi negatif.

Boleh saja para senior itu beralasan ingin "menjaga wibawa", "menanamkan nilai-nilai disiplin", dan sebagainya. Tapi, apa masih harus sampai mempermalukan orang lain seperti itu?

Apapun alasannya, ini tidak bisa dibenarkan, karena hanya akan mewariskan budaya negatif, dalam hal ini menurunkan sikap tidak respek kepada junior. Celakanya, rasa sakit karena menjadi korban perpeloncoan ini justru menjadi satu dendam turun temurun, yang diwariskan lintas generasi.

Kalau sudah begini, mau seperti apapun bentuknya, perpeloncoan akan tetap ada, bahkan tanpa harus bertatap muka secara langsung.

Lucunya, insiden ini juga menampilkan satu kecerobohan fatal. Dimana, mereka masih berani melakukan itu secara virtual. Tak heran, kasus ini langsung viral di dunia maya.

Entah kebetulan atau tidak, kecerobohan ini secara gamblang menampilkan sebuah keterbelakangan, karena apa yang dilakukan secara virtual bisa dengan mudah diviralkan.

Kalau sudah viral, kreativitas warganet kita bisa langsung menjadikannya bulan-bulanan. Entah dalam bentuk komentar sepedas sambal geledek, sekonyol iklan odading, membuat meme seperti gambar di atas, atau setajam lidah Bu Tejo yang julid itu.

Tak ada yang salah disini, karena media sosial adalah ruang publik. Untuk tindakan ceroboh seperti itu, menjadi bahan omongan warganet adalah konsekuensinya, disamping image negatif yang didapat kampus.

Di sini, pihak manajemen kampus tak cukup hanya sibuk mengklarifikasi, meminta maaf, atau menghukum oknum senior galak. Mereka harus turun langsung, misalnya dengan mengatur, terlibat dalam seleksi panitia, dan mengawasi program kegiatan ospek.

Dengan begitu, rantai "pewaris" virus perpeloncoan bisa diputus. Otomatis, budaya negatif ini bisa hilang dengan sendirinya.

Seharusnya, ini menjadi satu tanggung jawab kampus, untuk membangun mentalitas positif lewat pendidikan, bukan sebaliknya.

Karena, inti masalah "penyakit turun temurun" ini bukan berada di teknologi atau metode yang digunakan, tapi mentalitas yang menjiwainya.

Semaju apapun teknologinya, sebagus apapun metodenya, selama mentalitas yang ada masih mental kolonial, percuma saja.

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun