Disebutkan, uji materi ini diajukan untuk menjamin kesetaraan dan menjaga aspek moral bangsa. Kedua perusahaan ingin tayangan yang dikonsumsi sesuai dengan moral budaya Indonesia.
Jika melihat situasinya, ini jelas merupakan "jurus panik" dua perusahaan anggota MNC Group, dalam menghadapi dinamika perubahan pangsa pasar media penyiaran. Dimana, sebagai media penyiaran konvensional, mereka tak siap dalam menghadapi lawan baru berwujud media daring, termasuk platform streaming seperti YouTube dan Netflix.
Ketidaksiapan ini umumnya disebabkan oleh rasa nyaman, karena selama bertahun-tahun sebelumnya, mereka terlalu nyaman dengan posisi sebagai "pemilik posisi tawar" atas tayangan mereka. Dengan rating sebagai patokan tunggal, tayangan bisa diganti semaunya, sekalipun itu berkualitas.
Masalahnya, di era media sosial seperti sekarang, posisi tawar ada di penonton. Setiap penonton pasti punya selera masing-masing, dan ini tak bisa lagi "dimonopoli" televisi. Jadi, dari sini saja, terlihat seberapa bingung RCTI dan iNews, dalam menghadapi lawan di era modern.
Masalah lainnya, RCTI dan iNews cenderung ingin "memukul rata" antara mereka dan kreator konten. Jika pendekatan ini juga digunakan untuk menghadapi YouTube dan Netflix, kedua raksasa global ini jelas bukan tandingan mereka.
Padahal, keduanya jelas "beda alam". Media penyiaran konvensional menggunakan pemancar frekuensi publik, yang sinyalnya ditangkap lewat perantara antena TV, sementara media daring menggunakan koneksi nirkabel.
Kelasnya pun beda, yang satu memang butuh banyak personel dan biaya, sementara yang lain bisa dilakukan sendiri, meski budgetnya minim. Jika kesetaraan versi mereka seperti itu, maka itu adalah sebuah bentuk keterbelakangan, karena mereka korporasi besar, tapi enggan bersaing secara terbuka dengan produk kemajuan zaman.
Jadi, memukul rata mereka adalah sebuah tindakan ceroboh, bahkan bisa mematikan kreativitas. Ini jelas merupakan satu kemunduran. Lagipula, sinyal antena televisi nyatanya juga masih belum bisa menjangkau semua sudut negeri, meski sudah eksis puluhan tahun.
Apanya yang setara, jika orang miskin yang ingin berkreasi justru dipersulit, dan harus menanggung biaya besar seperti orang kaya yang sudah mapan?
Bukannya menyelamatkan moral bangsa, tapi tindakan ini justru akan merusaknya, karena kebebasan berkreasi dan mendapat asupan konten  berkualitas justru dibatasi. Konten berkualitas adalah hak milik semua kalangan.
Jika melihat "manuver panik" ini, kita bisa melihat bersama, seberapa jauh dekadensi media televisi konvensional kita. Terbukti, pemain lama dengan nama besar seperti MNC Group saja kewalahan, sampai harus menggugat UU Penyiaran, padahal media daring dan segala turunannya berpayung hukum UU ITE.
Tapi, daripada merajuk seperti ini, seharusnya mereka mau introspeksi diri, memperbaiki kualitas tayangan (yang makin lama makin menurun) dan mau menyadari, di era globalisasi ini, persaingan dan peluang di berbagai sektor begitu terbuka. Semua harus siap menghadapi, termasuk pemain lama dengan nama besar sekalipun, jika tidak, mereka akan tergilas.