Mohon tunggu...
KOMENTAR
Cerpen Pilihan

Para Bocah Itu

1 Agustus 2020   14:10 Diperbarui: 1 Agustus 2020   14:19 101 9
"Yah maklumlah, namanya juga masih bocah."

Itulah kata-kata yang sering kudengar, tiap kali Pak De dan aku saling bercerita masalah masing-masing, termasuk soal pekerjaan, khususnya sejak pagebluk menyerang.

Memang, sejak masa awal tinggal di ibukota, Pak De menjadi satu dari sedikit orang di kantor, yang benar-benar bisa memahami dan kupahami dengan sangat baik. Ia memang hanya seorang supir, tapi pengalamannya yang kaya, membuatnya mampu melihat situasi secara utuh.

Sebagai seorang yang masih hijau, aku bersyukur karena Pak De begitu terbuka. Ia benar-benar membantuku beradaptasi di lingkungan nan rumit ini.

Inilah yang membuatku selalu memanggil "Pak" disaat semua memanggilnya "Mas" , selain karena faktor umur tentunya. Maklum, umur Pak De hampir dua kali umurku.

Aku ingat, sejak pertama kali bertemu, Pak De selalu konsisten dengan kata-katanya. Terlepas dari pembawaannya yang kadang berangasan, keterbukaan dan kelugasannya turut membuka mata ini melihat semuanya satu persatu.

Dalam kegembiraanku hidup di ibukota, aku kadang merasa ganjil, karena orang-orang di lingkungan kerja terdekat, justru kerap menyalahpahamiku. Padahal, apa yang kulakukan adalah satu hal wajar, bukan "New Normal".

Keganjilan pertama yang kurasakan adalah, aku kerap dipersalahkan, untuk hal yang sebenarnya sudah kukerjakan sesuai perintah. Kadang, segera setelah pekerjaanku selesai, mereka mengubah perintah seenak perut, dan secara tiba-tiba menjadikanku biang kerok, karena dianggap melakukan satu kesalahan.

Awalnya, aku melihat ini sebagai satu latihan, tapi perasaan ganjil itu kian menjadi, karena ternyata itu adalah kebiasaan mereka sejak lama. Gilanya, kebiasaan ganjil itu terus berulang.

Kebiasaan ganjil lainnya muncul, dari pola kerja mereka yang sering kelewat batas. Di satu hari, mereka masih membahas pekerjaan sampai subuh hari. Di hari lain, mereka bisa berhura-hura, minum sampai puas, atau makan makanan mahal, seperti orang tak pernah makan.

Pada akhirnya, aku mulai melihat ini sebagai satu ketidakberesan. Momen ini datang, saat aku kembali dari Kota Klasik, tepat saat libur lebaran. Aku ingat, mereka dengan enaknya menyuruhku berangkat piknik, padahal tubuh rapuh ini masih kelelahan, setelah berjam-jam naik kereta seorang diri.

Gilanya, pada malam sebelum keberangkatan, mereka begitu berisik. Telepon dan notifikasi menyerbu sepanjang malam. Entah kenapa, mereka gaduh, seperti bocah balita. Jika mereka memang balita, aku bisa memaklumi, tapi, fisik mereka bahkan sudah terlalu tua untuk disebut sebagai remaja. Semua kegaduhan itu membuatku tak bisa tidur sepanjang malam. Persiapan? Seadanya sajalah!

Soal tempat, sebenarnya cukup menyenangkan. Hawanya sejuk, dan pemandangannya unik. Ada si kembar Gede-Pangrango dan Halimun-Salak, yang terlihat ceria di saat cerah, sekaligus anggun saat berselimut awan. Ada juga makanan enak berharga mahal buatku.

Tapi, apalah arti semua itu, jika tubuh ini kelelahan? Aku hanya bisa tidur bersama kelelahan yang terus menagih waktu istirahat. Rasanya? Mengerikan!

Inilah satu penyesalan yang datang bersama sebuah tekad; aku takkan pernah mengikuti acara seperti ini, dalam kondisi kelelahan. Sepenting apapun judul acaranya, selama wujudnya hanya bersenang-senang, aku akan tegas berkata "Tidak!", karena tumbang akibat kelelahan adalah harga yang terlalu mahal untuk dibayar.

Satu-satunya hal berharga yang kutemukan adalah, aku melihat hal lain yang coba ditutupi di sana. Benar, selama ini, di balik hedonisme dan kegilaan yang kulihat, ada pemandangan timpang; ada budaya "kerja bakti" dengan bungkus "rasa memiliki" dan "dedikasi". Saldo minus sudah biasa, perawatan rutin dan bonus hanya sebuah mitos, dan keselamatan hanya akan jadi perhatian setelah ada yang celaka.

"Saya sebetulnya sudah jengkel. Sudah berbulan-bulan semua kacau dari awal. Ongkos saya minus, terpaksa gali lubang tutup lubang. Kendaraan tak pernah diservis rutin, sekali rusak ya wassalam.", Itulah keluh kesah Pak De, saat mengantarku pulang dari tempat piknik.

"Saya juga Pak. Baru pulang dari mudik, seharusnya masih istirahat, malah disuruh berangkat. Katanya penting, tapi ternyata cuma hura-hura.", Sambungku.

"Daripada keluar uang buat hura-hura begini, seharusnya benahi dulu semua yang mendesak. Gara-gara ini, saya rela nggak libur lebaran di kampung. Nanti kalau setelah ini balik lagi ke semula, sama aja bohong.", Cetus Pak De.

Ternyata, semua keganjilan yang kurasakan, adalah pemandangan rutin buat Pak De. Beruntung, kebiasaan berhematku banyak membantu. Tak ada hutang, karena semua digunakan sesuai kebutuhan. Malah, selalu ada yang bisa disisihkan untuk tabungan.

Aku hanya peduli dengan diriku, karena di luar pekerjaan, ada keluarga dan teman yang juga mengisi hidupku. Aku memilih tak terlalu masuk ke dalam lingkaran eksklusif mereka, demi menjaga keseimbangan. Inilah satu kata kunci buatku, dalam menjalani hidup sebagai seorang rantau.

Keputusan ini memang tak mudah, karena aku dianggap kesulitan membaur. Padahal, tak ada masalah di situ. Semua kulakukan demi kebaikan bersama. Aku aman, mereka tak kerepotan.

Seiring berjalannya waktu, semua keputusanku seolah berlomba menampilkan bukti, tepat saat pagebluk melumpuhkan dunia. Mereka memang masih jumawa, membeli barang dan makanan mahal seperti biasa. Tapi, mereka tak bisa lagi bergerombol seperti biasa. Mereka juga masih gaduh seperti bocah balita, tapi semesta seperti menuntun semuanya ke titik penyeimbang.

Mereka yang gemar mempersalahkan justru mulai gemar membuat kesalahan sendiri. Mereka yang tadinya sempat mengkritik sikapku, justru mulai meniru, karena keadaan memaksa.

Pagebluk ini juga menjadi sebuah cermin, yang menampilkan wujud mereka. Gaya mereka yang masih serampangan, turut menghasilkan keputusan cenderung sepihak yang merugikan semua orang.

Tunjangan kesehatan? Tinggal kenangan.   Gaji? Kalau bisa gratis!

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun