Bicara soal Indonesia, keragaman budaya menjadi satu keunikan yang membanggakan. Meski punya banyak keragaman budaya yang bernilai tinggi, ada juga kebiasaan negatif yang cenderung membudaya.
Alhasil, kebiasaan ini menjadi budaya negatif. Salah satu budaya negatif yang cukup terkenal, adalah kecenderungan untuk "malas" membaca. Bukan hanya dalam hal membaca buku atau berita dengan seabrek informasi "berat", tapi juga dalam hal membaca deskripsi produk saat berbelanja online, meski deskripsinya sudah dibuat sesederhana mungkin.
Untuk masalah yang disebut terakhir, saya kebetulan mengalaminya belakangan ini. Memang, membuat deskripsi produk dan memonitor toko online perusahaan, menjadi satu rutinitas sehari-hari bagi saya.
Walau sekilas terlihat rumit, sejauh ini saya dapat menjalani dengan baik. Berkat sedikit pengalaman menulis yang sudah saya dapat, antara lain di Kompasiana, saya tak terlalu kebingungan saat harus mulai membuat deskripsi produk yang simpel, lengkap, dan mudah dipahami dalam sekali tangkap.
Masalahnya, belakangan mulai muncul orang-orang yang malas membaca deskripsi produk, dan menanyakan hal yang sebenarnya tak perlu ditanyakan lagi. Padahal, jika mau men-scroll down layar ponsel atau monitor gawai, mereka akan menemukan semua informasi yang mereka butuhkan, sebelum memutuskan untuk membeli atau tidak.
Tapi, entah kenapa, orang-orang ini justru enggan melakukan hal yang sebenarnya sangat simpel untuk dilakukan. Apalagi, mereka (sebetulnya) bisa membaca dengan baik, dan umumnya punya kondisi fisik sempurna.
Sejujurnya, sebagai seorang penyandang disabilitas fisik, faktor perbedaan kondisi fisik ini menjadi satu poin, yang (akhirnya) men-trigger perasaan saya. Jelas, mereka dikaruniai satu hal, yang membuat para penyandang disabilitas kerap terganjal, entah saat mencari sekolah (di sekolah umum), pekerjaan, bahkan pasangan hidup.
Jujur saja, satu kebiasaan buruk ini sukses membuat saya merasa "gagal" untuk sejenak. Semua usaha yang dilakukan untuk memudahkan semua pihak jadi percuma, hanya karena masih ada saja orang yang malas membaca. Kalau ternyata itu tak sesuai harapan, adagium "konsumen adalah raja yang tak pernah salah" bisa menjadi senjata pelindung paling menjengkelkan.
Memang, sebagai langkah antisipasi, tak sedikit penjual di toko online, yang sampai harus menulis kata-kata perintah atau agak menjurus kasar. Tapi, ini jelas kurang beradab, untuk ukuran bangsa yang sarat budaya bernilai luhur.
Pertanyaannya, apakah mereka sudah terlanjur nyaman, sehingga bisa terlihat semalas itu? Jika ya, maka ini sudah keterlaluan, karena kelebihan yang mereka miliki, tak dipakai sebagaimana mestinya. Padahal, inilah jurang pemisah antara penyandang disabilitas, dan mereka yang dikatakan "normal" secara fisik.
Pada akhirnya, kebiasaan buruk yang saya lihat, situasi yang sedang saya rasakan karenanya, dan situasi yang sedang menjadi bahasan luas belakangan ini, menjadi satu benang merah. Peribahasanya, "gajah di pelupuk mata tak tampak, kuman di seberang lautan tampak".
Seperti diketahui, belakangan ini, banyak orang di negeri kita ikut-ikutan bersuara keras, soal tragedi kematian George Floyd di Amerika Serikat, nun jauh di sana, tapi masih diam saja soal perlunya perlakuan adil, kepada para penyandang disabilitas di negara sendiri. Keduanya sama-sama masalah kemanusiaan, sayang beda nasib.
Parahnya, paradoks ini seolah menegaskan sebuah realita memprihatinkan: di saat negara lain sibuk berbenah, fokus berjuang mengatasi pandemi Corona, dan mempersiapkan diri menghadapi masa-masa setelah pandemi, kita malah asyik heboh dengan perkara di negara lain, sambil tetap menjalankan kebiasaan buruk, yang terlanjur membudaya.
Mau sampai kapan?