Mohon tunggu...
KOMENTAR
Humaniora Pilihan

Sebuah Kisah Nostalgia

6 Juni 2020   19:23 Diperbarui: 6 Juni 2020   19:22 213 0
Bicara soal bulan Mei-Juni, kebanyakan orang biasanya akan langsung menyebutnya sebagai "musim perayaan kelulusan", entah di tingkat sekolah maupun kuliah. Momen ini dianggap sangat penting, karena menjadi "milestone" buat setiap orang yang terlibat di dalamnya.

Ibarat sebuah tim sepak bola, momen wisuda adalah momen pengalungan medali juara dan penyerahan trofi juara kepada tim pemenang. Momennya mungkin cuma sekejap, tapi memori yang tersimpan di dalamnya akan terus terpatri dalam ingatan.

Ada momen jatuh bangun, ada momen membanggakan, dan sebagainya. Semua itu ditutup dengan manis pada momen wisuda. Tak heran, dalam beberapa tahun belakangan, istilah "wisuda" juga digunakan di berbagai tingkat pendidikan, mulai dari PAUD sampai SMA, bukan hanya universitas.

Tapi, khusus di tahun 2020, momen "sakral" satu ini sedikit berbeda. Tak ada seremoni meriah, tak ada selebrasi gila-gilaan, apalagi foto "postgraduate" yang mahal itu. Karena imbas pandemi Corona, wisuda yang dilakukan umumnya berupa wisuda virtual.

Uniknya, situasi ini membuat banyak orang, khususnya yang wisuda dalam situasi "normal", atau sebelum tahun 2020, memposting foto wisudanya di media sosial. Selain foto, ada juga "caption" nostalgik, dengan pesan pemberi semangat kepada "Class of 2020".

Saya sendiri akhirnya "tergoda" untuk bernostalgia mengingat "momen masa muda" itu, karena ada begitu banyak momen naik turun di dalamnya. Persis seperti "roller coaster".

Memori wisuda pertama, yang muncul di ingatan saya terjadi di tahun 2008, tepatnya saat lulus SMP. Saat itu, saya hanya mengingat momen itu sebagai akhir dari sebuah awalan sulit di kota pelajar.

Jujur, saat itu saya merasakan, level kesulitan di kota pelajar sangat berbeda jauh dengan Wonosobo, kampung halaman saya. Ibarat sebuah kompetisi sepak bola saya seperti langsung melompat jauh, dari Liga Indonesia yang apa adanya, ke Liga Spanyol yang penuh trik dan kompetitif.

Kesulitan makin lengkap, karena selain harus lebih serius belajar, pada beberapa momen, saya harus mendapat "bully" dari segelintir oknum usil, akibat disabilitas fisik yang saya punya sejak lahir. Masalah ini juga yang membuat saya sempat kesulitan, saat mengikuti seleksi masuk SMA.

Di SMA, akibat masalah "bullying" itu, pihak sekolah sempat "merehabilitasi" saya, dengan menaruh saya di sebuah kelas, yang tak ada seorangpun teman satu SMP saya di sana. Metode ini cukup efektif, karena saya bisa membaur dengan cair di kelas. Grafik nilai saya cenderung meningkat, bahkan selalu aman.

Rasa nyaman ini juga, yang membuat saya (akhirnya) berani protes, saat serangan "bully" kembali datang. Meski awalnya sempat terkejut, para pembully ini akhirnya meminta maaf, dan masa kelulusan SMA saya berakhir ceria di tahun 2011. Meski begitu, pada hari pengumuman kelulusan, saya tidak ikut ritual "coret-coret" baju seragam di sekolah, karena saya tidur di rumah.

Maklum, malam sebelumnya saya menonton pertandingan sepak bola di televisi sampai menjelang subuh, karena susah tidur. Saya baru ke sekolah di hari berikutnya, untuk menyumbangkan semua seragam sekolah saya. Lumayan, ada sedikit tambahan uang saku.

Di tingkat kuliah, aksi "bully" memang tak separah sebelumnya, aman dikata, hampir tak ada. Satu-satunya kesulitan adalah, saya harus siap pulang di malam hari, atau kadang menginap di kost teman sampai beberapa hari, entah karena tugas kelompok atau kegiatan organisasi kemahasiswaan yang saya ikuti.

Mungkin cara saya tergolong agak ekstrem, tapi inilah cara terbaik menyiasati kekurangan saya. Hasilnya, pada bulan November tahun 2015 saya, dengan foto di atas sebagai satu-satunya kenang-kenangan. Jika dijadikan sebuah "meme", lika-liku perjalanan saya sampai wisuda, kurang lebih mirip momen berikut:

Sebagai informasi, momen di atas adalah cuplikan aksi brilian Ronaldinho, saat mencetak sepasang gol "solo run" ke gawang Real Madrid di Santiago Bernabeu musim 2005/2006. Dalam laga ini, Barcelona menang 3-0. Hingga kini, Dinho menjadi satu dari sedikit pemain Barcelona, yang pernah mendapat "standing ovation" dari Madridista di Bernabeu, selain Diego Maradona dan Andres Iniesta.

Untuk sesaat, momen wisuda memang terasa menyenangkan. Ada begitu banyak ucapan selamat, mulai dari teman masa kecil, sampai satu kampus, dari guru semasa TK sampai dekan fakultas di kampus, dan lain sebagainya.

Setelahnya, giliran kesulitan demi kesulitan datang. Tapi, dari sinilah saya akhirnya menemukan hobi menulis, dan menjalani hidup sebagai seorang perantau di ibukota.

Pada akhirnya, wisuda memang sebuah momen spesial, tapi ia hanya sebuah simbol, dari sebuah kadar intelektualitas yang harus dipertanggungjawabkan setelah diperjuangkan. Wisuda adalah titik akhir perjalanan "belajar di gedung kampus", sekaligus titik awal perjalanan di "universitas kehidupan".

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun