Mohon tunggu...
KOMENTAR
Humaniora Pilihan

Disabilitas dan Motivasi

1 Mei 2020   14:31 Diperbarui: 1 Mei 2020   14:43 827 1
Bicara soal disabilitas, satu kata yang kadang berkaitan dengannya adalah "motivasi". Keterkaitan ini muncul, karena kaum penyandang disabilitas sering dianggap "kurang bersemangat" dalam menjalani hidup, hanya karena kekurangan yang dimilikinya.

Tak heran, penyandang disabilitas sering dicekoki berbagai bentuk motivasi. Tujuannya, agar ia punya "semangat" lebih dalam menjalani hidup. Sekilas, tak ada yang salah dengan maksud ini.

Tapi, sebagai seorang penyandang disabilitas, saya sering melihat, ada "salah kaprah" mendasar di sini. Pertama, penyandang disabilitas kadang dibandingkan secara "apple to apple" dengan penyandang disabilitas lain yang sudah sukses, misalnya pelari Oscar Pistorius, atau fisikawan Stephen Hawking. Perbandingan ini muncul, dengan didasari asumsi, "mereka sama-sama penyandang disabilitas".

Ini jelas "salah kaprah" yang cukup fatal. Memang benar, mereka adalah penyandang disabilitas yang jadi tokoh-tokoh terkemuka. Mereka bisa dijadikan inspirasi buat penyandang disabilitas lain. Tapi, bukan berarti semua penyandang disabilitas bisa langsung dipukul rata seperti itu.

Hal ini perlu digarisbawahi, karena setiap penyandang disabilitas punya kekurangan, masalah, dan kemampuan masing-masing. Begitupun dengan hal-hal yang selama ini sudah mereka lalui.

Dalam kehidupan sehari-hari, kita biasa menjumpai fakta, tak semua binatang bisa sekaligus terbang di udara, hidup di air atau di darat, walaupun sama-sama binatang. Sama halnya dengan tumbuhan, ada yang hanya bisa hidup di gurun pasir, daerah tropis, atau area bersalju. Mereka punya karakteristik tersendiri, yang jelas tidak bisa dipukul rata.

Jadi, perbandingan secara "apple to apple" dengan tokoh-tokoh terkemuka itu hanya akan menjadi frame pembatas. Alih-alih berkembang optimal menjadi diri sendiri, si penyandang disabilitas justru  akan terjebak dalam batasan yang dibuat itu, dan layu sebelum berkembang.

Padahal, bisa saja ia punya kemampuan, hobi atau bakat tersendiri, yang bisa membuatnya lebih berkembang, misalnya hobi menyanyi, hobi memasak, hobi menulis, dan sebagainya. Jika kita biarkan menjadi diri sendiri, seorang penyandang disabilitas akan berkembang dalam rasa nyaman. Dari sinilah, ia akan menemukan siapa dirinya.

Satu lagi, "motivasi" kadang juga menjadi sebuah kerawanan buat penyandang disabilitas. Kerawanan pertama adalah disalahpahami, dan yang kedua dimanipulasi. Mungkin terdengar agak kasar, tapi izinkan saya sedikit menjelaskan.

Untuk kerawanan pertama, penyandang disabilitas rawan disalahpahami sebagai "makhluk kurang semangat", yang perlu dilecut dengan motivasi. Padahal, tanpa dilecut pun, ia sebenarnya sudah punya semangat itu, terutama jika ia sudah tahu, titik mana yang akan dituju, dan apa yang harus dilakukan sampai tuntas. Lagipula, seorang pelari hanya perlu dibiarkan berlari sekuat tenaga, jika ia sudah tahu, di mana letak garis finis.

Sementara itu, untuk hal kedua, motivasi rawan menjadi satu cara, untuk memperhalus penolakan karena terganjal faktor fisik, misalnya dalam hal cinta atau mencari pekerjaan. Meski terlihat halus, cara ini cukup menyakitkan, karena justru membuat penegasan, bahwa "keterbatasan" adalah sebuah "pembatas". Jika dari awal sudah jujur, tentu tak akan menyakitkan, daripada diberi harapan palsu di awal, dan kata-kata motivasi pembungkus penolakan di akhir.

Pada akhirnya, motivasi hanya salah satu alat bantu bagi penyandang disabilitas untuk berkembang. Tapi, instrumen terpenting, yang akan sangat berguna bagi penyandang disabilitas untuk dapat berkembang optimal, adalah tetap nyaman menjadi diri sendiri. Dari sinilah, ia akan dapat menemukan dirinya.

Poin "menemukan diri" ini sangat penting, karena, jika sudah menemukan siapa dirinya, seorang penyandang disabilitas akan mampu menjalankan tugas utamanya sebagai penyandang disabilitas, yakni membuat "disability" menjadi "this ability". Dengan begitu, sebuah kekurangan tak akan dipandang lagi sebagai sebuah kekurangan, karena ia telah menjadi sebuah kemampuan.

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun