Mohon tunggu...
KOMENTAR
Bola Pilihan

Kisah Sebuah Generasi

19 April 2020   00:03 Diperbarui: 19 April 2020   00:04 128 2
Dalam sepak bola, kadang segala sesuatunya susah ditebak. Ada tim kuat yang mampu meraih hasil sesuai prediksi, ada juga yang malah tampil seadanya, begitu juga pada tim yang dianggap lebih lemah.

Tak heran, pemeo "bola itu bundar" tak pernah lepas dari olahraga satu ini. Maklum, semua kemungkinan bisa terjadi tanpa diduga sebelumnya,  Tapi, tak banyak tim, yang punya akhir cerita, seperti Timnas Yugoslavia.

Akhir cerita tim berjuluk Plavi (Si Biru) ini sebenarnya berawal dengan manis. Dimana, mereka meraih trofi Piala Dunia U-20 edisi 1987 di Cile. Kala itu, mereka sukses meraih trofi pertama (dan satu-satunya), setelah menang adu penalti 5-4 atas Jerman Barat di final.

Tentunya, ini adalah satu awal yang cerah. Apalagi, dalam turnamen ini muncul Robert Prosinecki (Pemenang Bola Emas Turnamen), Davor Suker, dan Zvonimir Boban. Uniknya, di tim ini juga terselip nama Dejan Antonic, yang kini melatih klub PSS Sleman di Liga 1.

Cerita manis berlanjut, saat Suker dan Prosinecki naik kelas ke Timnas senior Yugoslavia. Kali ini, mereka satu tim dengan Dejan Savicevic di Piala Dunia 1990. Di bawah arahan Ivica Osim, Yugoslavia mampu mencapai babak perempatfinal, sebelum akhirnya kalah adu penalti dari Argentina.

Meski begitu, Yugoslavia tetap pulang dengan kepala tegak, karena Prosinecki sukses meraih penghargaan sebagai Pemain Muda Terbaik Turnamen. Sebuah prospek yang cukup menjanjikan.

Ternyata, janji itu bukan sebatas janji. Di tahun berikutnya, giliran Red Star Belgrade yang berjaya di Liga Champions, setelah mengalahkan Marseille di final. Di sinilah Dejan Savicevic angkat nama, karena tak lama berselang, ia pindah ke AC Milan (Italia).

Jejak Savicevic ini diikuti Prosinecki, yang pindah ke Real Madrid. Selain keduanya, ada juga Sinisa Mihajlovic. Pemain yang dikenal punya tendangan geledek ini melanjutkan karier di Italia, hingga pensiun tahun 2006.

Di level antarnegara, Timnas Yugoslavia juga mencatat prestasi bagus, dengan lolos ke Piala Eropa 1992 di Swedia. Di babak kualifikasi, mereka unggul atas Denmark yang diperkuat Laudrup bersaudara dan Peter Schmeichel.

Sayang, gejolak politik yang menghasilkan perang saudara, memaksa FIFA dan UEFA menjatuhkan sanksi. Akibatnya, Yugoslavia pun didiskualifikasi dari Piala Eropa 1992. Sebagai gantinya, Denmark lolos ke Swedia, dan secara mengejutkan menjadi juara di akhir turnamen.

Kemalangan ini menjadi akhir paling malang, buat sebuah Timnas yang punya generasi menjanjikan. Karena, di tahun 1992, tepatnya tanggal 25 Maret, negara Balkan ini melakoni pertandingan terakhir, saat takluk 0-2 atas Belanda, dalam laga ujicoba di Amsterdam.

Setelahnya, Yugoslavia bubar, dan menjadi beberapa negara baru, seperti Serbia, Kroasia, Montenegro dan Slovenia. Tapi, rasa sakit karena gagal lolos ke Piala Eropa 1992, akhirnya sukses ditebus, lewat kesuksesan Timnas Kroasia meraih medali perunggu di Piala Dunia 1998.

Di sini Prosinecki dan Suker menjadi bintang bersama Zvonimir Boban. Generasi inilah, yang kelak menginspirasi Timnas Kroasia generasi berikutnya, termasuk generasi Luka Modric dkk, yang sukses mencapai final Piala Dunia 2018.

Apa yang dialami generasi pemain muda Timnas Yugoslavia di penghujung eranya, mungkin menjadi satu cerita patah hati paling menyakitkan di sepak bola. Beruntung, sebagian dari mereka tetap mampu meraih prestasi, bahkan menginspirasi generasi berikutnya, untuk melampaui capaian mereka. Kadang, patah hati memang bisa menginspirasi.


KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun