Jika melihat rentang waktu dan situasinya, masa libur darurat karena pandemi COVID-19 mungkin tergolong tak biasa dan mencemaskan. Maklum, jumlah penderita COVID-19 yang terkonfirmasi di Indonesia sejauh ini, sudah mencapai ribuan orang.
Disebut tak biasa, karena durasi libur darurat ini belum diketahui ujungnya, karena belum diketahui kapan wabah virus Corona ini berakhir. Semua orang kompak berdoa dalam sikap waspada.
Situasi saat ini, kurang lebih sama seperti libur darurat karena gempa bumi, banjir atau gunung meletus. Dimana, semua ditentukan dari apakah fenomena alam tersebut sudah reda atau belum. Meskipun, durasinya bisa sangat lama, tanpa ada tanggal pasti.
Praktis, diam di rumah menjadi pilihan paling aman, bahkan dianjurkan oleh pemerintah. Tujuannya jelas, demi menjaga keselamatan bersama.
Tapi, mengingat masifnya dampak virus Corona, pandemi kali ini berpotensi menghasilkan pergeseran budaya di negara kita. Secara spesifik, pergeseran budaya ini akan terjadi di lingkungan kantor, kampus, dan sekolah. Boleh dibilang, virus Corona membawa mereka ke persimpangan jalan.
Seperti diketahui, ketiga jenis lingkungan ini sama-sama membentuk budaya lewat rutinitas sehari-hari. Hanya saja, budaya mereka cenderung kurang adaptif terhadap situasi seperti saat ini, karena budaya itu dibentuk, dengan berdasarkan pada situasi normal dan aman terkendali.
Jadi, potensi adanya kebingungan, bahkan kekacauan koordinasi karena keadaan darurat cukup besar. Tidak adanya kontrol dan kejelasan, kadang membuat orang terpaksa bergerak sendiri-sendiri, atas nama keadaan darurat.
Kebetulan, kebingungan karena ketidakpastian adalah satu warna dominan, dalam situasi saat ini. Mengingat besarnya dampak situasi pandemi COVID-19, ini akan menjadi sarana pembelajaran bersama yang cukup ampuh.
Jadi, tidak akan mengejutkan, kalau budaya pendidikan dan lingkungan kerja di negara kita akan berubah. Bukan lagi kaku bin birokratis, tapi fleksibel. Patokannya bukan melulu prosedur, tapi kondisi. Jika kondisinya memang mendesak, prosedur boleh dikesampingkan.
Selain itu, akan muncul pola berpikir baru, terkait bagaimana cara terbaik untuk mengoptimalkan produktivitas kerja dan kemampuan terbaik seseorang. Dari sini juga, aspek keseimbangan antara kehidupan pada waktu kerja dan diluar jam kerja, akan mulai diperhatikan.
Tak bisa dipungkiri, budaya kerja di negara kita masih cenderung mengabaikan keseimbangan, antara kehidupan di kantor dan di luar kantor. Hampir tak ada kompromi, sampai virus Corona menyerang.
Di sini, fleksibilitas akan kembali tampil, karena kehadiran bukan lagi sebuah patokan utama, tapi hasil akhir. Terutama, jika pengalaman masa pandemi kali ini, justru membuat seseorang lebih produktif di rumah, bisa bekerja sambil mendampingi keluarga di rumah.
Satu-satunya hal yang perlu diperhatikan adalah, jika batasan jam kerja dilewati dengan seenaknya, hanya karena "bekerja di rumah". Jelas, perlu ada batasan yang tetap harus dihormati. Di sini, pemerintah juga perlu menyiapkan regulasi pendukung, agar keleluasaan bekerja di rumah ini tak jadi celah eksploitasi tenaga kerja.
Terlepas dari kemungkinan masa transisi yang agak rumit pascapandemi nanti, pergeseran budaya kerja dan pendidikan kita menjadi satu kemungkinan menarik. Andai ini benar-benar terjadi, maka benarlah adagium "perubahan adalah soal terpaksa atau dipaksa". Selebihnya adalah tinggal soal waktu.