Bedanya, "karantina" dan "social distancing" umum diterapkan di negara kita, dengan "work from home" (WFH), sebagai bentuk kebijakan lanjutan. Di negara-negara lain (terutama negara maju) menambahkan kebijakan "lockdown", supaya situasi tiap wilayah bisa tetap terkontrol.
Bagi sebagian orang, terutama mereka yang berkepribadian ekstrovert, atau mereka yang selalu aktif tiap hari, "karantina" atau "social distancing" mungkin terlihat seperti satu mimpi buruk yang jadi kenyataan. Maklum, mereka "dipaksa" berdiam diri, sampai batas waktu yang belum ditentukan.
Sementara itu, bagi para Introvert, situasi "karantina" atau "social distancing" tentu bukan barang baru. Dengan kecenderungan mereka untuk "merasa nyaman dalam suasana tenang", mereka justru menemukan "ruang bebas" lebih luas dari biasanya, terutama jika ia sehari-hari berada di lingkungan kerja atau keluarga, yang didominasi para ekstrovert.
Di satu sisi, sebagai seorang Introvert, saya melihat ini sebagai satu momen, untuk "menyetarakan" derajat para introvert dengan para ekstrovert, khususnya dalam perspektif budaya kita, yang masih belum sepenuhnya mampu memperlakukan dua kepribadian ini dengan seimbang.
Dalam konteks budaya kita, mereka yang ekstrovert terlihat "terang benderang", mudah diterima, karena terlihat aktif dan berani tampil. Alhasil, mereka dianggap sebagai "role model", yang harus ditiru.
Ironisnya, perlakuan sebaliknya justru biasa diterima para introvert, hanya karena mereka terlihat, "misterius", "tenang" dan cenderung lebih nyaman saat sendiri.
Akibatnya, mereka kerap dianggap "bermasalah", atau bahkan "antisosial", hanya karena terlihat berbeda. Konyolnya, situasi ini biasa muncul, hanya karena satu kepribadian disalahpahami. Andai sesuatu yang kurang baik terjadi karenanya, kata "maaf" karena sudah "salah paham" saja tidak cukup, mengingat ini adalah jenis "salah paham" yang fatal dan terlanjur sudah rutin dilakukan.
Entah kebetulan atau bukan, situasi yang muncul akibat pandemi COVID-19 belakangan ini, agaknya bisa menjadi satu "momen penyadaran massal" bagi para ekstrovert, terutama yang masih menyalahpahami sikap diam para introvert. Mengapa?
Karena, situasi saat ini praktis akan "memaksa" para ekstrovert untuk diam sejenak. Di sini, mereka akan bisa melihat, bagaimana dan mengapa para introvert bisa "menikmati" ketenangan. Mau tak mau, para ekstrovert ini akan menyelami alam berpikir para introvert, dengan situasi "harus diam sejenak" seperti sekarang.
Andai para ekstrovert ini akhirnya bisa menyadari kesalahpahaman mereka soal kepribadian introvert, seharusnya semua cap negatif terhadap introvert bisa dihapuskan. Otomatis, cara pandang mereka pun akan berubah.