Mohon tunggu...
KOMENTAR
Humaniora Pilihan

Sendiri

4 Januari 2020   15:46 Diperbarui: 4 Januari 2020   15:49 79 4
Sebelum melangkah lebih jauh, izinkan saya untuk sedikit menjelaskan, tulisan ini merupakan hasil refleksi dari pengalaman pribadi, bukan untuk digeneralisasi secara luas. Supaya, tak ada salah paham di kemudian hari.

Bicara soal kata "sendiri", kebanyakan orang akan mengasosiasikannya dengan kata "sepi", "sunyi", "suram" atau sejenisnya. Pada titik ekstem, "sendiri" juga kerap diasosiasikan dengan cap "anti-sosial". Akibatnya, mereka yang cenderung berkarakter introvert sering dianggap "bermasalah", hanya karena mereka lebih nyaman saat sendirian dalam suasana tenang.

Boleh dibilang, "sendiri" adalah satu kata yang punya lebih banyak cap negatif dibanding positif. Saking jeleknya, ada sebuah anekdot yang berbunyi, "sepi, sendiri, aku benci". Pertanyaannya, apa yang membuat kata satu ini terlihat seperti pesakitan, khususnya di negara kita?

Satu-satunya jawaban paling masuk akal adalah, karena kebanyakan masyarakat kita masih memegang kuat sifat budaya "kolektif" alias "paguyuban". Dimana, kebersamaan dan keterbukaan menjadi kata kunci, sementara "sendiri" menjadi sebuah "tabu", yang diidentikkan dengan cap "individualis", atau sejenisnya.

Jika hanya melihat dari satu sisi, tak ada yang salah disitu, karena manusia memang termasuk "makhluk sosial". Mereka tak bisa selamanya menangani semuanya sendiri. Lagipula, manusia juga tak bisa berkembang biak dengan cara membelah diri kan?

Tapi, jika dilihat lebih jauh, budaya "kolektif" kadang punya satu kelemahan alami, yakni kurang menghargai privasi dan batasan pribadi seseorang. Tak heran, dalam setiap pertemuan keluarga besar atau rekan sejawat, pertanyaan seputar hal-hal privat macam berat badan, pekerjaan, nominal gaji, atau pasangan hidup bisa terlontar begitu saja. Alasannya, supaya kedekatan bisa terjalin.

Padahal, kedekatan pada dasarnya bukan tercipta dari sebatas banyak-sedikitnya informasi personal yang dimiliki, tapi dari "rasa nyaman" dari dalam hati. Semakin "nyaman" seseorang, ia akan dengan sukarela membuka diri.

Situasi bisa jadi memuakkan, jika kumpulan informasi personal itu ternyata lalu dibandingkan dengan orang lain, dan dipergunjingkan secara luas. Alhasil, alih-alih kedekatan, "racun" lah yang tercipta, bukan rasa nyaman yang didapat, tapi rasa muak. Apalagi, kalau ujung-ujungnya kita "dipaksa" menjadi "seragam", meski itu jelas-jelas di luar kemampuan kita.

Sebagai contoh, kita "dipaksa" untuk ikut bergaya hidup konsumtif, dengan alasan supaya "bisa membaur" dengan yang lain. Padahal untuk bisa berhemat tiap bulan saja sudah susah payah, karena semua keperluan dibayar sendiri. Pertanyaannya, apakah "bersama" itu harus "selalu sama"? Jelas tidak.

Andai keuangan kita sampai minus, bahkan terjerat hutang gara-gara ini, mereka bisa menjadi pihak yang lepas tangan pertama kali, dan berbalik menyalahkan kita karena dianggap "ceroboh". Apalagi, jika ternyata mereka punya masalah serupa sejak lama, dan tak ingin "menderita" sendirian.

Pada titik ini, "sendiri" menjadi satu kata kunci yang krusial. Karena, ia bisa mengajak kita untuk lebih mengenal siapa diri kita, termasuk hal-hal yang berada di luar jangkauan kita.

Lewat "sendiri" juga, kita bisa melihat, mana hal baik dan buruk, mana yang harus dijauhi atau diikuti. Dari sini, kita bisa juga memilah, siapa saja yang bisa dijadikan "teman dekat", "teman kerja", atau dijauhi sama sekali.

Bukan bermaksud untuk menjadi "eksklusif", tapi ini adalah bagian dari "menjaga diri" agar tidak terjerumus dalam masalah akibat tak bisa berhati-hati. Bagaimanapun, kita adalah pihak paling pertama, yang paling bisa bertanggung jawab atas keselamatan diri kita. Apalagi, jika misalnya kita hidup seorang diri di perantauan.

Di sisi lain, "sendiri" adalah teman pertama seseorang, saat ia mulai menjalani kehidupan di dunia, dan akan terus menemani, sampai bertemu "teman hidup". Setelahnya, "sendiri" akan kembali menemani kita, kali ini sebagai teman terakhir, saat tugas kita di dunia ini sudah selesai, dan sudah waktunya kembali ke asal.

Pada akhirnya, "sendiri" menjadi satu cerminan, dari serba hitam-putihnya hidup. "Sendiri" sering disalahartikan sebagai sesuatu yang negatif, hanya karena satu sisi yang selama ini terlalu banyak dilihat. Padahal, ia punya sisi lain yang sayangnya sering terabaikan. Andai bisa dilihat secara utuh, "sendiri" sebenarnya tak perlu dianggap "buruk" apalagi "tabu". Ia adalah sesuatu yang "seimbang", karena dibalik sisi negatifnya, ia tetap punya sisi positif yang sama besar.

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun