Mohon tunggu...
KOMENTAR
Bola Pilihan

Melihat Kembali Silang Sengkarut Pemilihan Pelatih Timnas

21 Desember 2019   13:55 Diperbarui: 21 Desember 2019   13:54 1052 2
Dalam beberapa pekan terakhir, ada satu teka-teki yang belum kunjung terpecahkan, yakni soal siapa sosok pelatih Timnas Indonesia yang baru. Sebelumnya, PSSI memberhentikan Simon McMenemy (Skotlandia) dari posisi pelatih Timnas, menyusul performa jeblok Tim Garuda di Pra Piala Dunia 2022.

Sebenarnya, ada tiga nama yang muncul sebagai kandidat. Mulai dari Luis Milla (Spanyol, eks pelatih Timnas Indonesia), Shin Tae Yong (Korea Selatan, eks pelatih Timnas Korea Selatan) sampai Ruud Gullit (legenda AC Milan dan Timnas Belanda). Dua nama pertama sudah melakukan presentasi program kerja dengan pihak PSSI, sementara status Gullit masih sebatas gosip.

Hanya saja, siapa sosok definitif pelatih Timnas Indonesia masih belum diputuskan oleh PSSI. Situasi makin membingungkan, karena Shin Tae Yong diketahui juga sedang didekati Shenzhen FC, klub asal Tiongkok.

Jika dilihat lebih jauh, ketiganya adalah representasi dari cara pandang PSSI dan publik sepak bola nasional, tentang bagaimana cara meningkatkan level kualitas Tim Garuda. Di sini, cara pandang PSSI diwakili oleh Tae Yong dan Gullit, sementara Milla mewakili cara pandang publik sepak bola nasional.

Dari cara pandang PSSI, nama Tae Yong tentu dilihat murni karena alasan teknis. Seperti diketahui, Shin pernah melatih Timnas Korea Selatan (2017-2018) dan Timnas Korea U-20 (2017). Dalam kurun waktu itu, Shin mengantar Tim Ksatria Taeguk lolos ke Piala Dunia 2018 (tersingkir di fase grup) dan perdelapan final Piala Dunia U-20 edisi 2017. Selain itu, Shin pernah meraih gelar Liga Champions Asia 2010 bersama Seongnam Ilhwa Chunma.

Meski sekilas terlihat bagus, catatan performa Shin sebagai pelatih Timnas Korea Selatan tergolong biasa saja. Bersama Timnas senior Korea Selatan, Shin mencatat 7 kemenangan, 6 hasil imbang, dan 8 kekalahan dari total 21 laga. Sementara itu, bersama Tim U-20, Shin mencatat 1 kemenangan, 1 hasil imbang, dan 2 kekalahan dari total 4 laga.

Satu-satunya poin yang bisa dimaklumi adalah, PSSI agaknya ingin coba meniru kisah sukses Timnas Vietnam akhir-akhir ini. Seperti diketahui, Timnas Vietnam belakangan muncul sebagai tim tangguh di level ASEAN dan Asia sejak dibesut Park Hang Seo, pelatih berpengalaman asal Korea Selatan. Hang Seo sendiri merupakan salah satu asisten Guus Hiddink (Belanda), saat melatih Timnas Korea Selatan di Piala Dunia 2002.

Tentunya, ini menjadi satu alasan yang cukup bisa dimaklumi. Khususnya, jika melihat ekspektasi publik sepak bola nasional yang selalu tinggi. Masalahnya, harus ada kebijakan kongkrit, yang mampu mendukung program kerja si pelatih. Jika tidak, cerita lama kegagalan akan terulang lagi.

Untuk nama Ruud Gullit, meski hanya sebatas gosip, ini menjadi satu strategi PSSI untuk mendongkrak publisitas. Di masa lalu, PSSI juga pernah melakukan strategi ini, saat menunjuk Wim Rijsbergen sebagai pelatih Timnas Indonesia (2011-2012). Wim merupakan eks pemain Feyenoord Rotterdam saat dilatih Wiel Coerver, dan Timnas Belanda era 1970-an, yang dikenal dengan gaya "Total Football"-nya.

Maklum, meski sukses sebagai pemain, kiprah Si Tulip Hitam sebagai pelatih sebenarnya tak terlalu sukses. Terakhir, ia menjadi asisten Dick Advocaat di Timnas Belanda (2017-2018). Kala itu, Tim Oranye gagal lolos kualifikasi Piala Dunia 2018, setelah kalah bersaing dengan Swedia dan Prancis.

Di sisi lain, nama Luis Milla masih menjadi idaman publik sepak bola nasional, karena sang pelatih asal Spanyol ini berhasil membangun karakter bermain Timnas Indonesia. Catatan prestasi ini dipandang krusial, karena ia merupakan sosok pelatih yang mau membangun tim dari nol.

Memang, di bawah komando Milla, Tim Garuda gagal meraih trofi juara, dan kiprahnya di Timnas Indonesia berakhir kurang mengenakkan. Tapi, jika ada kesempatan kedua, tentu nama Milla layak dipertimbangkan. Bagaimanapun, ia masih punya "urusan yang belum selesai" di Tim Garuda.

Terkait ketiganya, keputusan akhir memang tetap berada di tangan PSSI, tapi, sikap "santai" PSSI dalam mengambil keputusan jelas mengkhawatirkan. Apalagi, PSSI masih belum punya program kongkrit soal pembinaan usia muda secara kontinyu.

Meski tahun 2020 agenda bertanding Timnas tak terlalu padat, jika pendekatan PSSI masih seperti ini, sebagus apapun CV pelatih baru Timnas Indonesia nantinya, situasi akan tetap sama, bahkan bisa lebih buruk. Apalagi, jika sang pelatih nantinya hanya dikontrak jangka pendek.

Seharusnya, PSSI mulai berpikir jangka panjang, seperti yang belakangan mulai diterapkan oleh Thailand dan Vietnam. Dengan membuat cetak biru program pembangunan sepak bola nasional yang konsisten dijalankan, pemilihan pelatih Timnas seharusnya tak terlalu rumit, karena didasarkan pada kesesuaian antara filosofi sang pelatih dengan tujuan jangka panjang secara umum.

Selebihnya, siapapun pelatih Timnas Indonesia yang terpilih nantinya, kita tak perlu menaruh optimisme berlebih, karena PSSI sendiri masih belum punya program pendukung yang memadai. Apalagi, jika jadwal bertanding kompetisi Liga 1 musim 2020 masih "semau gue" seperti yang sudah-sudah.

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun