Bagi sebagian pecinta sepak bola nasional, keputusan ini layak untuk disambut dengan gembira. Inilah hal yang sudah ditunggu-tunggu dan diupayakan lewat berbagai aksi protes. Maklum, di bawah kepemimpinan Edy, sepak bola nasional cukup akrab dengan masalah. Kalaupun ada prestasi juara, prestasi itu hanya satu: keberhasilan Timnas U-16 menjadi juara Piala AFF U-16 edisi 2018. Selebihnya, gagal maning gagal maning.
Terkini, PSSI disibukkan dengan kasus dugaan pengaturan skor, yang membuat beberapa orang anggota Exco PSSI dan Komisi Wasit diciduk pihak kepolisian. Tak ketinggalan, beberapa petinggi PSSI, termasuk Ratu Tisha Destria, sang Sekjen PSSI, juga sudah beberapa kali dipanggil pihak kepolisian, untuk dimintai keterangan sebagai saksi terkait kasus ini.
Dari situasi inilah, keputusan mundur Edy Rahmayadi sebagai Ketum PSSI terlihat layak diambil. Apalagi, eks Pangkostrad ini juga masih menjabat sebagai Gubernur Provinsi Sumatera Utara. Rangkap jabatan yang sempat dijalaninya, sebelum akhirnya mundur sebagai Ketum PSSI, memang sempat menuai panen kritik. Kritik itu makin banyak, setelah Timnas senior Indonesia tersingkir di fase grup Piala AFF 2018, disusul merebaknya kasus dugaan pengaturan skor belakangan ini.
Tapi, meski layak disambut gembira, mundurnya Edy Rahmayadi juga memunculkan rasa kecewa. Karena, posisi Ketum PSSI kini dijabat oleh Joko Driyono, yang sebelumnya merupakan Wakil Ketua Umum PSSI. Selain itu, jabatan Wakil Ketua Umum PSSI kini diisi oleh Iwan Budianto (CEO Arema FC, yang juga kepala staf PSSI).
Memang, keputusan ini diambil PSSI, mengingat periode kepengurusan PSSI saat ini akan berakhir tahun 2020 mendatang. Tapi, rasa pesimis justru muncul, karena situasi ini membuat peluang pembaruan di tubuh PSSI mengecil. Karena posisi strategis di PSSI kembali diisi oleh orang dari lingkaran yang sama.
Malah, keputusan mundur Edy Rahmayadi seolah percuma, karena situasi ini justru menjadi momen konsolidasi di internal PSSI. Kalau sudah begini, pembaruan PSSI hanya tinggal mimpi. Malah, situasi kini kembali seperti semula.
Melihat situasinya, Kongres Luar Biasa (KLB) PSSI sulit terselenggara di tahun ini. Mengingat, sudah dekatnya pelaksanaan Pemilu 2019, yang saat ini juga sedang dalam masa kampanye. Otomatis, izin dari pihak kepolisian untuk mengadakan acara kongres semacam ini akan sulit didapat. Bagaimanapun, pengamanan pemilu lebih diprioritaskan.
Andai pembaruan sepak bola nasional ingin diwujudkan, seharusnya para pengurus PSSI saat ini (terutama yang juga merupakan pengurus klub kontestan Liga 1), tak mengajukan diri lagi di periode berikutnya. Supaya, tak ada lagi potensi munculnya tumpang tindih kepentingan.
Selain itu, demi mewujudkan tata kelola sepak bola nasional yang lebih profesional, sudah saatnya para profesional (termasuk mantan pemain) dilibatkan secara penuh di PSSI. Jangan ada lagi "orang lama" atau orang politik yang terlibat. Kecuali, cerita muram yang sama ingin kembali dimunculkan di sepak bola nasional.
Andai situasi muram ini (kembali) terjadi, praktis satu-satunya harapan publik sepak bola nasional adalah seberapa cepat pergerakan Polri dalam membereskan kasus dugaan pengaturan skor. Karena, inilah cara terakhir (dan paling ekstrem) untuk memberantas mafia di sepak bola nasional. Jika mafia bola sudah diberantas, barulah kita layak untuk optimis pada prospek sepak bola nasional. Jika tidak, kita harus segera bersiap melihat kegagalan dan cerita muram seperti yang sudah-sudah.