"Happy birthday. Wish you all the best. Gbu"
Itulah kalimat-kalimat yang sepanjang hari berdatangan di ponselku, baik berupa chat, maupun postingan di medsos. Ya, hari Sabtu nan cerah itu adalah hari ulang tahunku yang ke 26. Tapi, ulang tahun kali ini sedikit berbeda dari biasanya, karena untuk pertama kalinya dalam beberapa tahun terakhir, aku tak begadang di malam sebelumnya, menunggu tengah malam datang, dan berdoa ditemani kesunyian malam.
Entah kenapa, di hari Jumat itu aku merasa sangat mengantuk. Waktu masih menunjukkan pukul delapan malam, saat aku terlelap dalam dekapan mesra sang bantal. Tidurku malam itu tanpa mimpi, sungguh damai. Inilah momen langka buatku. Biasanya, aku hanya akan tidur, saat tubuhku berkata, "Waktunya tidur, Bro!". Ini memang tak biasa, ada apa?
Keherananku itu akhirnya terjawab, saat waktu masih menunjukkan pukul setengah tiga pagi. Saat itu, lengan kiriku terasa sangat dingin, seperti ada yang baru saja memegangnya. Aku terbangun dan tersenyum, karena momen itu mengingatkanku pada kebiasaan mendiang Opaku dulu, tiap kali membangunkanku di pagi hari.
Entah dapat tenaga dari mana, tangan Opa selalu sedingin es tiap kali melakukannya. Setelah melakukan jurus tangan dingin itu, ia selalu berkata, "Ayo bangun, sudah pagi.". Nada bicaranya selalu tenang, suaranya lirih, tapi entah kenapa selalu bisa membuatku bangun dan segera bersiap-siap, layaknya seorang serdadu mendengar alarm tanda bahaya. Satu-satunya hal yang kutahu, selalu ada wibawa dan ketegasan luar biasa kuat, dibalik suara khasnya itu.
Kebiasaan serupa juga dilakukan Opa, tiap hari ulang tahunku tiba. Dengan jurus tangan dingin-nya, ia membangunkan aku, lalu menjabat erat tanganku sambil berkata, "Selamat ulang tahun!", sambil tersenyum lebar. Sayangnya, kebiasaan itu sudah tak lagi ada, karena opa sudah berpulang empat tahun silam. Aku tak pernah mengalaminya lagi, sampai momen aneh itu mendadak datang.
Awalnya, aku merasa bingung, "Ada apa ini?". Tapi, dalam suasana sepi khas dinihari itulah, aku tiba-tiba teringat, ini hari ulang tahunku. Inilah saatnya aku  merenung sejenak, melihat kembali semua yang sudah lewat, dan yang sudah menunggu di depan. Disinilah aku akhirnya menyadari, apa maksud dari rangkaian hal tak biasa yang kualami di hari ulang tahunku kali ini.
Ingatanku melayang ke masa lalu. Aku melihat perjalananku sampai saat ini, aku memang punya nasib campur aduk: beruntung sekaligus mengenaskan. Beruntung, karena bisa menuntaskan studi, punya teman-teman dan keluarga yang unik. Mengenaskan, karena aku sering bernasib buruk, akibat kekurangan fisik yang aku punya sejak lahir.
Aku memang tak bisa memilih, lahir dimana dan dengan kondisi apa. Tapi jujur saja, kondisiku ini sering membuatku jengkel. Usaha mati-matian semasa studi, selalu mentah oleh masalah fisik. Dan, masalah fisik ini selalu jadi alasan bagi banyak orang, untuk memberi segudang kata mutiara, yang sebenarnya tak lebih dari cara memperhalus kata-kata, "kamu ditolak!".
Mungkin cara itu terlihat sangat sopan. Tapi buatku, itu sangat menjijikkan. Apa susahnya berkata jujur? Aku tak butuh kata-kata mutiara nan munafik itu, aku hanya butuh kejelasan, ya atau tidak, lolos atau gagal. Sesederhana itu.
Bagiku, kata-kata mutiara dalam kondisi seperti itu seperti menggarami luka, tak berguna.
Setelah menerima motivasi demi motivasi, dan sempat menjadi pekerja serabutan, akhirnya aku mendapat pekerjaan tetap di sebuah hotel, berkat bantuan Bang Toyib (seniorku semasa kuliah), dan Bang Jali (teman Bang Toyib). Belakangan, aku tahu, ternyata Bang Jali adalah 'jagoan lokal' di pusat kota. Awalnya, aku merasa sangat lega, dapat pekerjaan tetap, dengan gaji layak untuk ukuran jomblo sepertiku.
Tapi, intensitas kerja yang luar biasa disana, malah membuatku tumbang. Tujuh hari kerja, dua belas jam sehari, dari yang awalnya delapan jam sehari. Luar biasa. Pada akhirnya, aku harus mengakui, berapapun upah lembur yang kudapat, itu tak banyak berguna saat aku tumbang. Apalagi, saat itu tubuhku berkata dengan tegas: "Pilih salah satu: kamu atau aku yang berhenti.". Aku sendiri akhirnya memilih mundur, dan tumbang selama tiga hari akibat terkena demam tinggi. Akhir yang sangat mengenaskan.
Hal mengenaskan lainnya, aku sempat kehilangan hampir seluruh uangku. Awalnya, setelah mundur dari hotel, aku berniat mencoba untuk merintis usaha kecil-kecilan, karena aku melihat ada peluang di sana. Apalagi, Bang Toyib memang mengajakku. "Ayo kita berwirausaha bareng, sekarang kan 'jaman now', lebih bebas." , Katanya meyakinkanku. Bang Toyib memang punya bisnis kecil-kecilan sejak mulai kuliah. Saking asyiknya berbisnis, kuliahnya terbengkalai. Saat aku lulus, ia masih berkutat di mata kuliah tingkat dasar.
Aku sendiri memilih percaya pada Bang Toyib, karena dia adalah salah satu dari sekian banyak kakak senior, yang membantuku beradaptasi di tahun awal masa kuliah. Saat aku lulus, Bang Toyib menjadi satu dari sedikit seniorku yang masih tersisa. Jadi, aku menganggap ajakan berbisnis dari Bang Toyib ini, sebagai satu kesempatan baik untuk balas budi.
Tapi, ternyata ajakan berbisnis itu tak lebih dari satu modus tipu-tipu. Uangku dia bawa kabur, segera setelah kuberikan. Parahnya, Bang Toyib lalu memblokir nomor teleponku. Seakan belum puas, ia juga mengadukan aku ke mantan bosku saat bekerja di hotel dulu, atas pelanggaran yang sebenarnya tak pernah kulakukan. Gilanya, belakangan aku tahu Bang Toyib dan Bang Jali sengaja berkomplot, karena akibat aku resign, mereka kehilangan uang komisi rekrutmen karyawan dari mantan bosku.
Saking niatnya, mereka sampai membuat skenario pertemuan, mulai dari tempat, waktu, bahkan kata-katanya, semua sudah diatur Bang Jali sedemikian rupa. Bahkan, aku disuruh membawa kitab suci, di hari H pertemuan. "Kamu jangan lupa bawa kitab sucimu. Supaya kamu bisa bersumpah di atas kitab suci waktu bicara ke mantan bosmu. Semua orang bakal jadi saksinya", Perintah Bang Jali meyakinkanku.
Di sini, aku mulai merasa janggal. Jujur, aku memang bukan seorang penganut Kristen yang taat. Bahkan, aku sangat takut membaca kitab suci sendirian, demi menghindari penafsiran sepihak yang ngawur. Bukannya malas, aku sudah sering melihat, banyak ketegangan yang muncul, hanya karena penafsiran sepihak macam ini. Alih-alih mendamaikan, isi kitab suci justru memanaskan. Hal ini terjadi, karena kebenaran yang terkandung dalam kitab suci, sudah terlanjur direkayasa menjadi pembenaran.
Perintah Bang Jali itu, sempat membuatku bimbang. Aku akhirnya mengambil keputusan, untuk datang sendiri menemui mantan bosku, hanya dengan modal nekat. Aku ingat betul, di hari H pertemuan, semua terjadi di luar skenario awal Bang Jali. Awalnya, aku berencana mampir dulu ke toko buku, sebelum berangkat ke tempat pertemuan itu. Maklum, jaraknya cukup jauh dari rumahku, waktunya pun masih cukup lama. Jadi, aku bisa mampir-mampir dulu.
Aku sendiri, dengan nekatnya memutuskan tak membawa kitab suci. Aku tak peduli, bakal semarah apa Bang Jali nanti. Buatku, kemarahan-Nya akan jauh lebih mengerikan, jika aku sampai berani menjadikan kitab suci sebagai alat, untuk memuluskan satu skenario (yang sebenarnya) manipulatif.
Di luar dugaan, kenekatanku ternyata tepat. Hari itu, aku batal mampir ke toko buku, akibat lalu lintas kota mendadak macet. Aku dengar, ada karnaval budaya, dan tamu penting yang datang ke kota. Tanpa pikir panjang, aku langsung berangkat naik bus ke tempat pertemuan, dan tiba tepat tengah hari, lima jam lebih awal, dari jadwal yang ditentukan. Aku menunggu ditemani rasa lapar dan sebotol air mineral.
Aku sempat terkatung-katung di sana, karena ternyata tak ada yang tahu, kalau hari itu akan ada pertemuan. Bahkan, semua orang terlihat kebingungan melihatku datang sendirian. Aku diam saja, menunggu seperti anak hilang. Aku mulai merasa ada yang janggal.
Setelah satu jam menunggu, akhirnya aku bisa bertemu dengan mantan bos besar, yang tak lain adalah orang tua mantan bosku. Tentu saja ini diluar dugaanku, karena aku malah berhadapan langsung dengan 'bosnya si bos' sendirian. Hari itu, aku benar-benar kaget, begitu juga dengan mantan bos besarku.
Untunglah, mantan bos besarku orangnya sangat teliti. Dia tahu persis, aku 'datang tampak muka, keluar tampak punggung', tak ada masalah. Aku semakin lega, karena beliau juga memastikan semua baik-baik saja, setelah menelepon mantan bosku, yang saat itu sedang pergi. Aku sangat bersyukur, Saking bersyukurnya, aku sampai berkata ke mantan bosku, "Terima kasih Bos, sekarang aku bisa tidur nyenyak", satu ungkapan syukur yang membuat kami tertawa sejenak.
Kami lalu saling berbicara seperti sudah kenal lama. Meski ponselku terus bergetar, aku tak peduli. Aku tahu, itu telepon dari Bang Jali. Tapi aku harus menghormati lawan bicaraku. Apalagi, baterai ponselku cepat habis.
Setelahnya, aku mendapati Bang Toyib dan Bang Jali sama-sama terlihat kalut. Rupanya, kenekatanku hari itu membuat semua skenario awal mereka berantakan, bahkan sebelum sempat dieksekusi. Sore itu, semua terlihat terang benderang. Entah berapa lama mereka berdua menyusun skenario ini, tapi itu semua berantakan dalam sekejap. Gilanya, kenekatan dan spontanitasku secara tak sengaja mampu menyelamatkanku dari rencana kotor mereka.
Berkat bantuan mantan Bos Besar, hari itu aku juga lolos dari debat kusir yang tak jelas ujung pangkalnya. Aku disuruhnya pulang, dan oleh mantan bosku, aku diberi ongkos untuk pulang. Malam itu, untuk pertama kalinya sejak beberapa bulan terakhir, aku benar-benar tidur nyenyak, tanpa mimpi, tanpa beban.
Setelah kejadian itu, aku masih ditelepon Bang Jali beberapa kali, dengan tujuan yang sama. Memang, Bang Jali berniat membantuku untuk mengambil kembali uangku dari Bang Toyib, dengan cara seperti yang diskenariokannya. Tapi, caranya sama dengan yang gagal ia lakukan ke mantan bosku, bahkan ia sempat coba melibatkan Gede, temanku yang bahkan tak terlibat. Kerumitan ini akhirnya berakhir, setelah aku mencoba untuk merelakan uangku yang dibawa kabur Bang Toyib. Hanya itu saja yang bisa kulakukan.
Pengalaman ini sungguh traumatis buatku. Aku sempat merasa linglung, dan sempat bermalam di rumah Gede untuk menceritakan semuanya. Gede memang tahu soal masalah ini, tapi aku tetap harus menceritakan semua, seperih apapun rasanya.
Aku butuh waktu cukup lama, untuk bisa pulih dari rasa sakit ini. Kadang, aku menangis saat sendirian. Aku hanya ditemani rasa depresi dan segelas kopi hitam. Rasanya seperti lirik lagu "Bimbang Tanpa Pegangan":
Bimbang hatiku nian tanpa peganganÂ