Ya, dalam laga di Stadio Olimpico, Roma, ini, Milan sebetulnya mampu mengimbangi Juve, terutama di babak pertama. Statistik pertandingan pun cukup berimbang, Milan unggul penguasaan bola (51%) dibanding Juve (49%). Dalam hal kreasi peluang, Milan mampu mencatat total 10 tembakan berbanding 17 tembakan milik Juve. Melihat statistik pertandingan ini, skor akhir 4-0 untuk keunggulan Juventus mungkin sulit dipercaya, dan skor akhir ini juga tak menggambarkan bagaimana jalannya laga, yang secara statistik cukup berimbang.
Tapi, berhubung sepak bola tak melulu soal statistik, catatan statistik yang berimbang ini jadi mubazir buat Milan. Karena, di laga final ini mereka tampak gugup dan serba kebingungan. Situasi ini berbeda dengan Juve, yang seperti sudah paham betul harus bagaimana di laga menentukan seperti ini, terutama dalam hal memaksimalkan kelemahan tim lawan untuk mencetak gol di waktu yang tepat.
Alhasil, di babak kedua mereka mampu mencetak 3 gol beruntun, dalam tempo tak sampai 10 menit lewat dwigol Mehdi Benatia dan satu gol Douglas Costa, masing-masing di menit 55, 61 dan 64. Ketiga gol ini dapat tercipta, berkat kejelian Juve dalam memanfaatkan buruknya koordinasi lini pertahanan Milan. Praktis, gol-gol beruntun Juve ini sukses 'membunuh' harapan Milan.
Sebetulnya, Milan bukannya tanpa peluang, tapi margin 3 gol terlalu sulit untuk dikejar. Malah, mereka harus rela kebobolan lagi di menit ke 76, akibat gol bunuh diri Nikola Kalinic. Akibatnya, Milan kalah 4-0 atas Juve. Kekalahan 4-0 ini, sekaligus membawa Juve meraih gelar ganda domestik mereka yang keempat secara beruntun, sekaligus menegaskan dominasi Si Zebra di Italia.
Bagi Milan, mimpi buruk di final Coppa Italia ini menunjukkan, mereka memang mulai berkembang di bawah arahan Gennaro Gattuso, tapi mereka belum cukup kuat, terutama dari segi mental bertanding. Hal ini tentu bisa dimaklumi, mengingat musim ini penuh gonjang-ganjing bagi Milan, dengan mereka mengalami pergantian pemilik klub dan pelatih, plus perombakan komposisi tim secara besar-besaran.
Jadi, meski gagal total di final, capaian ini tetap layak diapresiasi, karena ini dapat dicapai di tengah berbagai masalah yang ada. Malah, kegagalan di final kali ini memberi satu pelajaran berharga: untuk bisa meraih trofi, diperlukan ketenangan dan kematangan mental dalam menghadapi tekanan. Supaya, tekanan yang ada dapat dinikmati, dan menjadi satu kekuatan (bukan beban) tersendiri.
Menarik ditunggu, bagaimana kelanjutan kiprah AC Milan setelah kekalahan ini.