Mohon tunggu...
KOMENTAR
Cerpen

Perempuan Itu...

21 September 2012   03:42 Diperbarui: 25 Juni 2015   00:06 334 1

Sesosok tubuh berperawakan sedang berjalan cepat dalam balutan sweater katun penahan dingin dini hari itu, lebih sering menatap ke bawah karena takut salah langkah. Meski di tengah kota tapi tak bisa dibedakan mana polisi tidur, mana lubang dan mana bangkai tikus di jalan sepagi itu. Mata itu tampak lelah, merah karena menahan kantuk namun tak mengurangi enerjinya untuk terus melangkah dengan cepat. Sesampainya di depan sebuah sebuah rumah petak selebar 2,5 m ia berhenti sebentar, menghela napas panjang lalu mencari sesuatu dalam tas jinjingnya, kemudian lengannya terulur ke lubang kunci dan memutar anak kuncinya dengan sepelan mungkin.

Di dalam ruang sempit itu, panas serta merta menyergap, menyita semua hawa dingin di luar sana, baru lah terasa peluh yang telah mengalir di wajah, leher dan punggungnya. Namun tak dipikirkannya tentang gerah itu. Kembali matanya awas, dalam remang cahaya ia mencari dua sosok tubuh. Mereka di sana, di atas kasur tipis beralas tikar plastik untuk penahan dingin lantai keramik di bawahnya. Kedua tubuh itu saling memeluk, sosok lebih kecil tergolek tak searah kasur, sementara sosok yang lebih besar sejajar kasur dalam posisi miring dan lengan kanannya terlingkar di atas tubuh sang adik. Mereka tidur terlalu nyenyak sehingga sama sekali tak terganggu dengan kedatangan sang bunda yang telah semalaman meninggalkanmereka.

“Maafkan bunda nak, tidurlah terus sampai nanti pagi menyambut kalian!” desah perempuan itu dalam hati.

Tak terlalu lama dalam melankolia, setelah berganti baju, langkahnya kembali terayun, menuju bagian belakang, mulai mencari-cari dan mengumpulkan bahan untuk bekal kedua anaknya jelang sekolah. Tangannya sudah bergerak cepat, langkah kaki terus ada meski pelan, mata itu tak sempat terpejam namun bibirnya tetap bernyanyi sunyi dalam lagu manis penyerta tugas mulia pagi itu.

Di luar sana, tak jauh dari rumah petak perempuan itu, beberapa pasang mata telah mengamati kedatangan perempuan itu. Mata yang berisi rasa curiga, dengki dan sakit hati karena pernah dikecewakan oleh perempuan yang mereka panggil dengan olok-olok “janda kembang” itu, mereka berbisik-bisik, sesekali tertawa pelan agar tak terdengar keberadaan mereka. Mereka memiliki kesamaan dengan perempuan tadi yakni belum tidur semalaman namun para pengintai ini berteman beberapa botol air mineral berisi cairan berwarna coklat jernih dan kartu domino, itulah yang tetap membuat mereka terjaga.

Rentetan cahaya terang akhirnya berhasil memaksa sang surya muncul dari tingkapnya. Sang perempuan keluar dari rumah bersama kedua putrinya yang telah berseragam sekolah. Sambil menyapa beberapa tetangganya iapun menggandeng kedua putrinya menuju jalan besar dimana angkutan umum akan mengantar mereka ke sekolah masing-masing. Sementara itu dunia sekelilingnya berjalan cepat, dalam himpitan penumpang angkot, dalam langkah-langkah cepat orang sekitarnya, deru motor yang berasap tebal dan mobil yang angkuh menggasak jalanan, mendesak mereka bertiga untuk berjuang melepaskan diri, memaksa mereka pun untuk berlari.

Setelah satu jam, perempuan itu kembali ke rumah petaknya bersama satu tas plastik berisi sayur dan segala macam bahan makanan untuk hari ini. Ritual yang sama berulang, membuka pintu, menaruh tas plastik itu ke dapur, menyetel alarm, berganti baju kemudian beranjak ke kasur yang sama yang semalam digunakan keduanya putrinya. Tak lama waktu yang diperlukan baginya untuk terlelap, rasa letih yang menebal telah menjadi ninabobo tanpa suara yang mengantarnya dalam tidur yang lelap.

Namun waktu adalah sahabat tanpa perasaan. Seiring bunyi alarm dari ponselnya, perempuan itu membuka matanya untuk kemudian bangkit, mematikan ponsel, mengikat rambut panjangnya dan beranjak ke belakang. Setumpukan cucian sudah ada di sana, miliknya dan kedua putrinya, menunggu tangan halus itu untuk bergerak membuang segalanoda yang ada. Tak seberapa lama puluhan pakaian berbaris rapi dalam gantungan kayu di atas teras meneteskan air bercampur tetesan keringat. Satu lagi tugas terselesaikan namun bukan yang terakhir.

“Siang Luna,” terdengar suara sapaan yang Luna telah kenal, suara Firman.

Firman adalah seorang lelaki lajang yang baru saja menyelesaikan studi S2-nya dan selama ini memang jarang di rumah karena terlibat banyak proyek di pedalaman-pedalaman milik perkebunan kelapa sawit yang terbentang di Sumatera maupun Kalimantan. Namun satu bulan ini ia memutuskan untuk berada di rumah, meninggalkan pekerjaan yang menggiurkan bagi kebanyakan orang dengan alasan untuk istirahat di rumah orang tuanya di gang sempit di tengah kota itu. Namun alasan sebenarnya hanya Firman yang tahu. Kepulangannya saat lebaran selama beberapa hari setahun yang lalu telah memaksa hati dan matanya tertawan pada seorangperempuan beranak dua yang tinggal di belakang rumahnya, Luna.Luna pun telah mengenal Firman sebagai seorang lelaki yang cerdas, pintar dan cukup berada, namun yang terpenting bagi Luna, ia bukan lelaki bajingan seperti kebanyakan lelaki di kampung itu. Sesuatu yang nyaman baginya untuk membagi percakapan dengan Firman.

“Hai mas Firman, ngga ke mana-mana mas?” tanya Luna balik.

“Nggak Na, malas keluar. Eh ngga ganggu kan ini?” tanya Firman berbasa-basi.

Namun dari matanya jelas Firman menghendaki Luna mengajaknya ke dalam, dan yang diharapkannya memang benar terjadi. Luna mempersilakan Firman masuk ke rumah. Luna tak hendak semua mata memperhatikan kedekatan mereka di luar itu namun Luna pun mengakui hanya pada Firman ia bisa berbagi cerita dan tertawa lepas berkat cerita dan gurauan Firman.

Percakapan ringan pun mengalir baik dari Luna tentang pekerjaan, anak-anak, sampai tentang orang tua nya di desa. Atas cerita Luna itu Firman memperhatikan dengan seksama dan kadang terlongo-longo melihat kisah kehebatan single mom itu namun kadang juga Firman memperlihatkan emosi ketika Luna bercerita tentang eks suaminya yang memperlakukannya dengan kasar, yang lebih memilih menggauli motor butut semalaman daripada memberi kecupan selamat malam padanya dan anak-anaknya. Firman pun tak mau kalah untuk menceritakan cerita-cerita lucu yang dialaminya selama berada di pedalaman, interaksi dengan masyarakat asli yang kadang memunculkan kisah konyol orang kota yang gagap dengan lingkungan asli, godaan akan perempuan setempat maupun keluh kesahnya tentang kehidupan bos-bos sawit yang menyebalkan itu.Selama Firman bercerita Luna tak melepaskan matanya yang berbinar, menyimpan kekaguman atas diri pribadi ini. Betapa jauh berbeda dengan eks suaminya.

Namun pembicaraan itu berubah melankolis ketika Luna menceritakan betapa lingkungan di mana ia tinggal begitu menyudutkannya, tak hanya kerlingan mata melecehkan tetapi juga pandangan mata curiga dari sekitar, terlebih lagi lontaran yang seringkali terdengar secara tidak sengaja yang menuduhnya dekat dengan beberapa lelaki muda untuk dijadikan pelampiasan akan kesendiriannya. Emosi Firman meninggi mendengar kisah Luna namun segera berubah menjadi iba dan simpati yang besar dalam diri Firman yang serta merta menawarkan penghiburan dan sandaran. Uluran tangan dan sentuhan Firman menghadirkan sensasi luar biasa pada diri Luna. Tubuh Firman seakan adalah rangkulan ayahnya yang dulu sempat hadir dalam hidup Luna kanak-kanak, yang hadir untuk mengusir anak-anak nakal dengan suaranya yang menggelegar, dimana Luna tak pernah merasa takut ataupun sedih ketika sang ayah ada di dekatnya. Tak terasa oleh Luna ketika dalam tangisnya, uluran tangan serta pelukan Firman semakin mengetat, tanpa disadari direbahkanlah kepalanya di dada Firman dan tumpahlah segala beban dalam diri Luna yang selama ini menyesaki pikiran dan dadanya, terurai dalam kristal-kristal bening di pipi Luna.

Tak terdengar oleh keduanya suara gerimis yang mengetuki atap dan membasahi bumi siang itu sampai akhirnya hujan menunjukkan tanda kehadirannya. Namun bukan hujan yang akhirnya menyadarkan keduanya melainkan sebuah hardikan keras dari pintu rumah Luna yang memang dibiarkan terbuka. Seorang perempuan berusia lewat setengah abad telah berdiri mematung dengan lengan terpentang di kedua pinggul gemuknya, sementara matanya tampak membesar, melotot menatap kedua insan yang sedang tenggelam dalam ungkapan perasaan mereka. Suara bernada tinggi merobek suasana sentimentil di ruang itu, meniadakan suara hujan yang makin menderas siang itu.

“Firman, ngapain kamu di sini dengan janda ini?” terdengar seperti menghakimi daripada sebuah pertanyaan.

Serta merta kedua insan tadi saling melepaskan diri dan menjauh. Mereka sadar apa yang akan terjadi selanjutnya. Tak sempat saling memandang, keduanya menunduk, antara perasaaan bersalah dan ketidakberdayaan seolah hadir. Hendak melawan mereka tak punya cukup daya. Terdiam sajalah yang bisa mereka lakukan.

“Ngga pantes tau kalian berangkulan, mesra-mesraan kayak gitu, kalian ngga nyadar dari tadi tetangga memperhatikan kalian ha...!” hardik perempuan itu lagi.

Dalam hitungan detik, suara keriuhan pun muncul, diundang oleh suara hardikan sang perempuan tadi, Nyonya Romlah, ibunda Firman, sang juragan rumah kontrakan dikompleks itu. Mereka saling melirik lalu bergerak berkumpul di depan pintu rumah Luna dan berbisik-bisik.

Luna berharap Firman berbicara karena ia tahu, jika ia yang bicara, itu tak akan ada gunanya. Mereka telah mengadilinya sejak lama, hukuman telah diberikan oleh orang-orang sekitarnya bahkan sebelum Luna melakukan apapun yang salah. Setiap orang seolah menunggu Luna membuat “kesalahan” agar mereka memiliki pembenaran atas tuduhan mereka dan menghukumnya dengan segala kelegaan seperti seseorang yang berhasil membalaskan dendam. Namun tak ada satupun suara yang muncul dari mulut Firman, ia terduduk diam menunduk seperti anak yang ketahuan mencuri uang ibundanya. Seseorang yang beberapa waktu lalu seolah menjadi benteng pelindungyang kokoh, beringin penghalang teriknya matahari, pahlawan atas kesendiriannya ternyata hanyalah seorang bernyali kerdil, pengecut yang bahkan tak mampu membela dirinya sendiri, apalagi melindungi orang yang dicintainya. Cinta Firman pada Luna tak dibarengi dengan keberanian.

Sampai kerumunan itu hilang, tak ada suara lain yang keluar dari mereka berdua. Pun Firman pergi dengan tak mengucapkan sepatah kata pun pada Luna, sang bintang fajarnya. Dan Luna pun patah, kembali kecewa karena telah menciptakan harapan bagi dirinya sendiri dan akhirnya terhempas dalam kehampaan dan kekosongan karena harapannya telah dibawa pergi oleh seorang lelaki pengecut yang lain. Namun anehnya, tak ada air mata lagi yang keluar, air mata itu telah kering. Luna hanya merasakan kekecewaan, tak lebih.

Dalam sebuah helaan napas panjang, ia mendongakkan kepala dan tersentak ketika melihat jam dinding telah menunjukkan jam 13.05. Ia lupa bahwa si kecil sudah selesai sekolah 1 jam yang lalu dan sebentar lagi putri sulungnya juga akan selesai sekolah. Luna cepat-cepat bangkit, menyeka wajah dengan kain bajunya, cepat-cepat membasuh muka dan berlari cepat menuju jalan raya, putri bungsunya pasti sudah sangat cemas di sekolah sendirian. “Maafkan bunda lagi nak!” dalam hati Luna berteriak.

Hujan belum berhenti, irama kota kembali menggulung Luna dalam hari-hari sesaknya. Sementara kebanyakan orang di dalam kantor atau berada di rumah bermalas-malas menunggu hujan reda, Luna masih harus terus berlari, demi hidupnya, demi cinta pada anak-anaknya, sendirian. (ll)

Hard to be sure, sometimes I feel so insecure

And loves so distant and obscure, remains the cure

All by myself, don't wanna be

All by myself, anymore

(All by myselfoleh Celine Dion)

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun