Lalu kenapa saya menggunakan istilah Negara gagal pada judul tulisan ini? Istilah ini dapat ditemukan definisinya di kamus politik manapun yang secara garis besarnya menunjuk pada sebuah negara yang kehilangan kemampuan untuk melindungi warganya dari ancaman terhadap martabat dan kehidupan kemanusiaan mereka dan tidak mampu memberikan hak-hak sipil yang mendasar bagi rakyatnya. Namun mengutip konsep Clinton pada tahun 1994, AS memiliki konsepsinya sendiri bahwa negara gagal adalah “negara yang punya potensi mengancam diri kita (warga AS dan sahabat) maka kita harus melindungi diri dari negara ini, jika perlu dengan cara menghancurkan mereka.” Konsep tersebut saat ini bertransformasi dari “negara gagal” ke “axis of evil” atau “poros setan”yakni negara-negara yang harus dihancurkan dalam kerangka “membela diri.” Konsep inilah yang dikhawatirkan memicu meningkatnya ancaman terorisme, proliferasi nuklir dan -istilah yang digunakan Chomsky adalah- “Apocalypse soon” atau “Akhir Dunia.” (Chomsky, “Failed States: The Abuse of Power and the Assault on Democracy”2006. p.108)
Dengan justifikasi sepihak atas interpretasi konsep di atas maka suatu negara dapat dinyatakan sebagai negara yang membutuhkan campur tangan dan peran besar dari negara lain yang lebih kuat. Alasan terbesarnya adalah untuk melindungi rakyat dari tragedi kemanusiaan. Suatu konsep politik yang baik namun mari kita cermati kembali. Terdapat standar ganda dalam menerapkan suatu intervensi pada suatunegara. Dengan cepat AS dengan NATO sebagai instrumennya dapat terlibat di Kuwait, Afghanistan, Irak, dan Libya sementara itu secara kontras tampak enggan untuk melibatkan diri dalam kancah krisis kemanusiaan di negara seperti Sudan,Liberia, Togo, Somalia atau Korea Utara. Apa yang membedakannya kemudian, bagi awam seperti saya mungkin akan muncul sebuah jawaban sederhana yakni karena negara-negara Afrika dan Asia tersebut tidak menghasilkanminyak atau keuntungan strategis lain dalam kacamata perluasan kekuasaan ekonomi-militer AS.
Maka bagi negera-negara gagal tersebut tak ada pilihan lain selain menjadikan negara mereka bercorak despotik dan represif serta sangat protektif dalam kebijakan keamanan luar negerinya. Ambil contoh Cina yang tetap mengambil sikap tegas jika menyangkut Taiwan, Iran yang tetap menolak Traktat Anti-proliferasi Nuklir jika AS tidak menandatanganinya juga, dan yang paling ekstrim adalah Kim Jong Il yang memilih menjadikan negaranya tertutup total dari informasi serta intervensi asing, plus masih ada satu lagi yakni mengembangkan rudal balistik antar benua berhulu ledak nuklir. Satu alasan alasan lain kenapa AS atau NATO tidak berani mengambil langkah gegabah pada negara-negara “keras kepala” tersebut adalah kepemilikan senjata nuklir. Diakui atau tidak kepemilikan nuklir menjadikan diplomasi luar negeri sama kuat di wahana internasional seperti PBB. AS tidak bisa mengancam Iran atau Korea Utara untuk menyerahkan kekuasaan atau menggalang kekuatan revolusi karena jika ada indikasi infiltrasi AS ke negara mereka maka tombol peluncur hulu ledak nuklir antar benua dapat segera ditekan dan AS tak mau mengambil risiko itu meskipun secara faktual AS dan Israel adalah negara pemilik hulu ledak nuklir terbesar di dunia (dan keduanya tak bersedia menandatangani Traktat Anti-proliferasi Nuklir).
Jadi jika melihat situasinya saat ini, ada situasi fight evil with evil atau kejahatan melawan kejahatan. Kita tahu Saddam, Qhadafi, Bassar Asad, Ahmadinejad, Kim, bahkan Chavez menerapkan kebijakan yang menurut cara pandang barat maupun akademis tidaklah demokratis. Secara personal para pemimpin di atas mendapat label “madman” atau “penjahat kemanusiaan” yangtentu saja dilabelkan secara besar-besaran oleh media AS dan Eropa, seolah AS sedang dalam misi menyelamatkan umat manusia dari angkara murka. Namun dalam kacamata keamanan dalam negeri, penerapan demokrasi justru akan menghancurkan fondasi negara dan dengan mudah AS dan sekutunya dapatmengambil alih segala aset mereka dan meninggalkan penduduknya dalam kesengsaraan, ambil contoh terdekat adalah Irak dan Afghanistan. Kedua negara ini secara de facto hanyalah boneka AS dimana pemerintahan oposisinya harus tunduk pada kebijakan ekonomi AS atau lewat lembaga keuangan internasional untuk mengelola negaranya, termasuk dalam hal ini adalah konsesi minyak yang tidak adil, pengembalian hutang perang dan mencabut semua bentuk subsidi/dana sosial bagi masyarakatnya. Ditambah lagi, kedua negara tersebut sampai saat ini tercerai berai oleh keragaman suku dan kaukus politik sektarian yang tak jarang berujung pada kekerasan antar warga negara mereka sendiri.
Tentu saja kisah komikal ini tak sesederhana itu jika kita mencermatinya dari banyak perspektif. Selama ini premis yang sering digunakan oleh AS dalam melaksanakan operasi militer ilegalnya adalah pencegahan kejahatan kemanusiaan yang dilakukan oleh negara gagal tersebut. Namun ternyata terdapat beberapa karakter atau prasyarat yang dijadikan AS dalam mendorong perubahan kekuasaan karena AS tak akan ambil risiko untuk melakukan serangan militer. Prasyarat-prayarat tersebut adalah:
- Suatu negara betul-betul tak memiliki tameng pertahanan
- Harus memiliki arti atau posisi penting serta sepadan dengan kekacauan yang akan ditimbulkan.
- Harus sudah ada gambaran pada dunia internasional bahwa negara tersebut adalah “biang iblis” dan menjadi suatu ancaman bagi kehidupan dunia. (Chomsky, “Hegemony or Survival,” 2003. p.17)
Dalam perspektif Naomi Klein dalam Shock Doctrine (2007), kondisi inilah yang menjadi impian atau yang ditunggu-tunggu bagi AS untuk melaksanakan tugas ekspansi militer ekonominya. Ketika negara gagal telah betul-betul lumpuh dan kehilangan kendali, AS akan mengambil alihnya. Gampangnya, formulasinya adalah” Lumpuhkan dan Kuasai” dan biasanya menggunakan elemen berjudul pemerintahan demokratis. Sebuah agenda politik dipercepat, jika sebelumnya Suriah adalah target awal penaklukan namun melihat kritisnya dan begitu mendukungnya situasi politik Libya untuk menyingkirkan Qadhafi maka Libya lah yang dijadikan target prioritas. Ini cukup aneh karena selama ini Libya mendukung AS dalam misi pengejarannya terhadap jaringan Al Qaeda. Namun bukan berarti Suriah bisa berlega hati, Suriah tetap dalam black list “negara setan”, dan jika melihat success story di Libya maka Suriahpun terasa akan segera dalam genggaman.
Dalam kenyataan hari ini, ada ironi besar, dunia membutuhkan “orang jahat” tadi karena dunia membutuhkan keseimbangan. Pasca perang dingin, otomatis hanya AS-lah negara yang menguasai dunia tanpa ada lawan yang setara. Tak ada lagi kubu Komunis yang kuat seperti di masa lalu, tak ada lagi kekuatan regional yang cukup kuat yang bisa dijadikan tameng bersama menghadapi kerakusan AS dalam menanam kekuasaan kapitalisnya.Tak ada lagi Liga Arab yang solid karena beberapa negara di Arab telah berada dalam kooptasi AS seperti Arab Saudi dan Jordania. Sehingga pada akhirnya diakui bahwa masing-masing negara harus mempertahankan diri mereka masing-masing, dan demokrasi jelas pilihan yang sulit, apalagi jika hendak terlibat dalam pakta kerjasama ekonomi, jelas bukan pilihan yang tidak berisiko.
Maka dari uraian singkat di atas tampak dengan jelas relasi antara usahapengambilalihan negara-negara gagal dengan reaksi negara gagal tersebut untuk mempertahankan diri. Kebijakan antidemokrasi dikembangkan secara masif, dan yang paling menakutkan adalah pengembangan senjata nuklir menjadi pilihan yang masuk akal. Sesuatu yang juga ditakutkan oleh seluruh umat manusia di dunia. Nuklir adalah buruk bagaimanapun, namun diakui efektif digunakan sebagai back up diplomasi, itu fakta yang menggetirkan dalam situasi dunia yang kacau oleh dominasi AS saat ini. Contoh lain betapa efektifnya diplomasi luar negeri dengan senjata nuklir adalah Korea Utara, PBB tak mampu mengusik Kim Jong Il sampai saat ini meski praktek demokrasi di Korut telah mencapai titik nadir. Contoh lain yang dapat kita lihat adalah Indonesia sendiri, dengan hanya mengandalkan kekuatan militer dan alutsista jaman kuno, Malaysia tak takut sama sekali untuk memamerkan kekuatan militernya dalam konflik kepulauan di perbatasan Indonesia-Malaysia. Fakta yang menyakitkan memang, tapi harus diakui bahwa ini bukan kisah komik yang bercerita tentang kekuatan hitam melawan putih. Konstelasi internasional telah memasuki awal era semua melawan semua, dan pertahanan diri masing-masing negara adalah jawaban yang tersedia.
Selama PBB masih merupakan institusi yang tak bergigi di depan AS dalam mewujudkan perdamaian dunia maka duniaakan berjalan menuju kekacauan dan ketidakteraturan, dan wajar saja jika selama ini ada ejekan bahwa lebih tepat memberikan kepanjangan UN sebagai United Nothing! (ll)