Berapa banyak manusia yang memiliki kegemaran seperti aku ini, menatap lekat wajah belahan hati ketika ia terlelap begitu dalam? Bukan saat ia membuka mata dan berkata-kata indah penuh hasrat padaku beberapa jam lalu melainkan saat semua gegap gempita gairah itu usai. Tak mungkin bila cuma aku sendiri yang bisa melihat keindahan ini, kecantikan yang muncul dengan cara yang sangat, terlalu sederhana. Hanya dibutuhkan waktu dan kerendahan hati di depan kesunyian saja untuk menikmatinya, oya serta satu hal tambahan lain yakni sebesar apa kasih yang dipupuk dalam hatimu sehingga membuat pemandangan ini tampak begitu indah. Menatap cahaya yang memancar dari wajahnya, ibarat rekahan fajar menutup episode malam kelam hari kemarin. Oh terpujilah Dewa Dewi, ia begitu cantik malam ini.
Terduduk di sandaran ranjang, sesekali aku memperbaiki posisiku untuk dapat menikmati keseluruhan citra indah ini. Corrie di sampingku dengan posisi miring ke arahku, sebagian wajahnya menempel pada bantal, berselimut tipis sekedar menutup tubuh pualamnya dari angin malam, lelap dalam tidurnya yang damai, kelopak matanya terkatup rapat membiarkan mata terang itu istirahat dalam gelap sementara bibir tebalnya yang gelap tanpa pemulas pun tertutup rapat, kulit wajahnya yang kecoklatan dengan beberapa titik di atasnya tampak melemas, semua istirahat di atas permukaan lembut ranjang kami. Wajah yang sehari-hari penuh cahaya semangat, malam itu tampak begitu bening, pasrah di hadapan malam, membiarkan sentuhan angin lembut dari angin-angin jendela mengusapnya. Rambut pendek sebahu dan poninya sesekali tertiup lembut seiring angin dan gerakan tubuhnya. Terdengar irama teratur nan lembut dari nafasnya, berpadu dengan nyanyian alam menjadi menjadi resital bagiku malam itu.
Begitu indah, begitu damai, begitu bercahaya wajahnya saat itu. Sayangnya aku bukan seorang pemahat ataupun pelukis, aku tak punya kemampuan mengabadikan kecantikan itu menjadi sebuah lukisan mahakarya atau patung pahat yang hidup. Aku cuma bisa merekamnya dalam benakku, sesuatu yang terus tertancap dalam kepalaku bahwa aku begitu beruntung dapat menikmati kecantikan itu dengan cara yang sangat sederhana. Malam itu, tanpa kata-kata, tanpa dialog, tanpa narasi, sebuah syair cinta mengalir dalam benakku, kisah tentang keindahan sang kekasih. Dari sana aku percaya bahwa sesuatu yang tanpa kata dapat menjelaskan lebih banyak daripada barisan diksi dan puisi.
Detik ke detik, menit ke menit berjalan begitu lambat namun itu yang kuinginkan saat ini, berharap pagi tak akan datang. Ini waktuku, tak ada yang bisa mengganggunya, tak ada yang berhak menilainya. Sesekali terdengar lenguhan saat nyamuk menyentuh kulitnya atau saat ia bergerak mengubah posisi tidurnya. Aku masih di sini, masih lekat menatapnya, mengagumi mahakarya mungil ini. Tanpa kusadari pucuk-pucuk kebahagiaan menyentuh kalbuku kala menatapnya, menimbulkan sensasi kepenuhan dimana gairah kegembiraan itu meruyak berkembang bagai kelopak bunga-bunga rumput di benak dan hatiku. Aku tak bisa menceritakan dengan tepat sensasi itu, tak ada kata yang pas untuk menjelaskannya, sungguh indah, yang pasti tak ingin aku membangunkannya. Tidurlah kekasihku, mimpikan sesuatu yang indah, mimpikan kita sebelum kau terlelap, impikan kekasih-kekasihmu yang lain, tak akan kubangunkan dirimu dari tidur nyenyakmu sampai tangan-tangan fajar sendiri yang akan menyentuh wajah dan tubuhmu.
Bunga malamku, kudus kurasa malam ini, tak kuasa aku menutup mata, aku takut kehilangan momen nirwana ini. Ibarat menunggu gerhana bulan berakhir, waktu berjalan begitu lambat sehingga aku seakan melihat keseluruhan kisahmu dan aku di sana. Aku di sini, bersamamu akan menemanimu sampai fajar datang menjemputmu, dan terimakasih kekasih untuk kebahagiaan kecil yang telah kau berikan. Aku menemukan gambar surga di sana, dan ke sana lah aku akan kembali, sekarang aku tahu ke mana tujuan perjalananku.
Besok pagi aku akan pergi, tapi wajahmu saat terlelap itu akan kubawa, menjadi teman abadi dalam kesendirianku. Terimakasih cinta, jika boleh memanggilmu itu. (ll)