Peristiwa revolusi kemerdekaan tanah Timor Timur atau yang lebih dikenal sebagai Timor Leste yang resmi memisahkan diri dari bumi pertiwi menyebabkan keluarga bahagia Tatiana (Alexandra Gottardo) tercerai berai. Sesungguhnya Tatiana, Merry, dan Mauro tidak pernah memilih menjadi pengungsian. Predikat itu dengan serta merta melekat pada diri keluarga itu setelah mereka memilih setia pada Indonesia. Ironis memang, karena sebelumnya mereka adalah warga negara Indonesia, hidup nyaman dan bahagia. Namun, ketika mereka kembali menegaskan dirinya sebagai warga negara Indonesia, memilih setiap pada Pancasila dan Merah Putih, mereka menjadi pengungsi di tanah airnya sendiri.
Nasib Carlo sebenarnya tidak lebih tragis dari kehidupan Tatiana, Merry, dan Mauro. Kalau Merry masih memiliki Tatiana dan Mauro, Carlo adalah sebatang kara. Ayahnya mati dalam perang revolusi, sedangkan ibunya meninggal oleh minimnya perhatian dan kepedulian bangsa ini terhadap nasib saudara seatapnya sendiri. Hidup di bawah standar kesehatan, miskin pendidikan, miskin sandang, pangan, dan papan adalah gambaran dari ongkos yang mesti diterima mereka yang memilih setia pada negara itu di barak pengungsian. Bahkan untuk sebuah cita-cita pun, Carlo tidak sanggup menyebutkan jati dirinya di masa depan karena tenggelam dalam depresi luar biasa atas nasib sebatang kara dirinya itu. “Saya punya cita-cita hanya mau supaya saya berkumpul dengan bapa dan mama,” ujar Carlo.
Film Tanah Air Beta garapan sutradara Ari Sihasale sekurang-kurangnya sedang mengurai dua harmonika yang tercerai berai. Tidak ada lagi lagu Tanah Air Beta. Tidak pula untuk Kasih Ibu. Harmonika itu telah tercebur, karena kecintaan para pengungsi diperbatasan itu tengah dikianati oleh saudara sebangsanya sendiri, bahkan oleh negaranya sendiri. Mereka memilih tetap tinggal di rumahnya Indonesia sebagai Tanah Air Beta, tetapi Indonesia malah memberi mereka identitas baru sebagai pengungsi.